semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Sosialisasi BMP Budidaya Udang Windu di Kec. Suppa, Kab. Pinrang (Bagian I)

Sosialisasi BMP Budidaya Udang Windu pada tanggal 18 Maret 2014 berjalan lancar. Dengan dihadiri sekitar 60 peserta yang terdiri atas 40-an petambak dan 15 staff DKP Pinrang. Daftar Hadir : 43 (Petambak), 12 Penyuluh Perikanan, 3 Staff DKP, 1 akademisi (Prof Hatta Fattah), 1 (Pengusaha hatchery). Total sebesar 60 orang. Kegiatan dilaksanakan di halaman rumah Puang Raja (Ketua Kelompok Tani) yang dapat menampung peserta hingga 60 orang lebih.

Besar harapan bahwa materi-materi yang disajikan oleh para pemateri dapat dipahami oleh para peserta. Pemateri terdiri dari WWF-INDONESIA, perwakilan pemerintah, perwakilan pengusaha dan pemberdaya masyarakat, serta perwakilan akademisi. Materi-materi dipaparkan dengan bahasa sederhana dan ada pemateri yang menggunakan istilah-istilah lokal. Sedangkan materi dari dari WWF-INDONESIA banyak berangkat dari pengalaman-pengalaman WWF-INDONESIA di wilayah dampingan di Tarakan, Kalimantan Timur dan Blangmangat, Lhokseumawe, Prov. NAD (Nangroeh Aceh Darussalam).    


Candhika Yusuf (Koordinator Aquaculture WWF-INDONESIA)

Sosialisasi BMP Budidaya Udang Windu dimulai dengan sambutan Candhika Yusuf, Koordinator Akuakultur WWF-INDONESIA. Candhika menjelaskan tentang sejarah WWF di Indonesia, program dan strategi Bidang Akuakultur WWF-INDONESIA untuk budidaya perairan yang bertanggungjawab dan berkelanjutan. Aktivitas budidaya perairan itu sendiri masih menyisahkan beragam persoalan, diantaranya penebangan mangrove, pencemaran perairan, penggunaan bahan-bahan berbahaya, biosecurity, pencemaran genetik, dan persoalan sosial/konflik. 



Candhika menjelaskan bahwa pada tahun 1960 dan 1961, WWF Internasional memulai program konservasinya untuk penyelamatan Panda di China, yang jumlahnya semakin berkurang akibat penangkapan. Kemudian pada 1961, WWF mulai masuk ke Indonesia dengan bekerjasama dengan Balai Taman Nasional Ujung Kulon untuk misi penyelamatan badak cula 1 di Ujung Kulon, Provinsi Banten. Berkat kerjasama tersebut, populasi badak meningkat, perburuan badak mulai dihentikan dan badak dapat normal kembali beranak pinak.

Candhika menguraikan kerangka perbaikan lingkungan, yang dimulai dengan pembuatan panduan BMP(Better Management Practice) yang melibatkan banyak pihak di berberapa daerah di Indonesia. Panduan tersebut mengacu pada standar operasional budidaya berskala internasional, yaitu Aquaculture Stewardship Council (ASC), yang mempunyai misi untuk mendorong tersedianya produk perikanan budidaya yang bertanggungjawab melalui mekanisme sertifikasi pihak ketiga. ASC mengakomodir empat aspek dalam pengelolaan perikanan, yaitu aspek legalitas dan rancangan tata wilayah, pengelolaan lingkungan, teknis, dan sosial. Standar ASC diperoleh dari hasil Aquaculture Dialogue yang diprakarsai oleh jejaring kerja WWF, melibatkan ribuan kalangan, baik dari kalangan pembudidaya, industri, LSM, pemerintah, pasar, dan akademisi dari seluruh dunia. Pada saat ini telah ada panduan BMP WWF Indonesia untuk budidaya Udang Windu Sistem Tradisional, Penyakit Udang, budidaya Ikan Nila, Budidaya Ikan Kerapu, serta yang akan dicetak yaitu BMP Budidaya Udang Vannamei, Budidaya Ikan Bandeng, Budidaya Rumput laut Cottoni dan Gracillaria, BMP Budidaya Kakap Putih, dan Budidaya Kerang Hijau.

BMP menjadi alat atau panduan pembudidaya dalam perbaikan tambaknya, sehingga memenuhi kriteria legalitas, pengelolaan lingkungan, teknis dan sosial tersebut. Pemenuhan poin-poin dalam BMP tersebut akan dapat tercapai jika setiap stakeholder mengambil peran di dalamnya, DKP mengambil peran dalam perbaikan sarana-sarana irigasi dan pemantauan, penyuluh memberikan masukan-masukan dan mengajak pembudidaya untuk mendiskusikan bersama permasalahan dan memecahkannya secara bersama pula melalui mekanisme kelompok. Perusahaan dan industri membantu untuk menyediakan bibit udang yang berkualitas, pakan, pupuk, kapur, pestisida alami, serta segala kebutuhan petambak dengan mempertimbangkan kualitas barang tersebut. Sedangkan LSM dan kelompok masyarakat membantu untuk pendampingan, konsultasi dan menghubungkan para pembudidaya dengan pihak-pihak yang dapat membantu pembenahan usaha perikanannya. Sehingga dapat dikatakan bahwa untuk mencapai budidaya perairan yang bertanggungjawab dan berkelanjutan tersebut, dibutuhkan kerjasama dengan semua stakeholder yang terkait.


Ir. Nurdin (Kepala Bidang Budidaya DKP Kab. Pinrang)

Ir. Nurdin dalam sosialisasi BMP membawakan materi tentang CBIB. Sengaja kita ajak DKP dalam hal ini Ir. Nurdin untuk mengulang kembali materi CBIB kepada petambak, agar petambak lebih paham tentang poin-poin yang harus dipenuhi untuk memperoleh sertifikat CBIB, yang sebenarnya bertujuan untuk perbaikan usaha budidaya perairan pada tambak tersebut. Program Kementerian Kelautan dan Perikanan termasuk di dalamnya pengembangan CBIB dan CPIB sudah berjalan selama empat (4) tahun. Saat ini sudah 190 tambak yang telah memperoleh status CBIB.    

Nurdin memulai dengan menurunnya produksi udang windu Kab. Pinrang dalam beberapa tahun terakhir, dimana usaha budidaya udang windu berkembang pada 1980-an dan maju pada 1990-an. Sehingga CBIB bertujuan membantu untuk mengembalikan kejayaan udang windu serta mewujudkan jaminan mutu dan keamanan pangan. Sertifikasi CBIB hendak melakukan pengendalian kegiatan budidaya sejak dari persiapan, pengelolaan air, proses produksi hingga pasca panen. Hal ini pada dasarnya sudah diketahui oleh para petambak, namun petambak perlu didampingi, untuk itu CBIB sebagai panduan strategis para penyuluh untuk mendampingi, memantau, dan mengevaluasi proses budidaya yang diterapkan para petambak.


Ir. Nurdin memaparkan prinsip-prinsip yang mendasari sertifikasi CBIB. (1) Biosecurity (keamanan biologi), yaitu mengurangi peluang masuknya sumber penyakit ke sistem budidaya serta mencegah penyebarannya dari satu tempat ke tempat lain. Tentang penyebaran penyakit, Ir. Nurdin masih menyesalkan karena petambak masih sulit mengkomunikasikan ke petambak lain bahwa tambak miliknya terserang penyakit. Sehingga upaya pencegahan penyakit untuk masuk ke sistem budidaya biasanya terlambat ditangani. (2) Food Safety (Keamanan pangan), lebih pada adanya jaminan bahwa produk pangan aman dikonsumsi. (3) Ramah terhadap lingkungan, pengelolaan lingkungan sekitar dan antisipasi terhadap pencemaran.

Pembudidaya pun diharuskan melindungi produk budidaya dari bahan-bahan pencemar, dalam aktivitas budidaya, pemanenan, dan pengangkutan. Diantara kontaminan yang membahayakan keamanan pangan, yaitu logam berat (Hg, Cd, Pb), organochlorin (pestisida), antibiotika (Chlorampenicol, Nitrofuran, dll), biologi-mikroorganisme berupa Salmonella, Cholera, dll. Dan fisik seperti serpihan kayu, logam dan rambut.

Beberapa poin-poin yang ditetapkan dalam CBIB, seperti lokasi yang bebas dari pencemaran air dan udara, suplai air tidak menimbulkan ancaman terhadap keamanan pangan. Upaya untuk membenahi sistem irigasi pernah digagas Pemda Pinrang pada 1990-an, namun karena tidak adanya kemauan dari petambak untuk menyisihkan sebahagian tanahnya untuk pembuatan irigasi pembuangan, sehingga rencana kawasan tambak yang terdiri atas atas dua saluran air (irigasi) tidak terwujud. Kemudian tentang tempat penyimpanan pakan, obat-obatan dan perlengkapan budidaya ditempatkan pada lokasi yang bersih dan tidak tercemar. Persiapan tambak dilakukan untuk menjamin keamanan pangan dari organisme-organisme penyebar penyakit dan bahan-bahan yang membayakan. Persiapan wadah yang baik akan meminimalisir penggunaan obat-obatan dan efisiensi biaya. Pengelolaan air dilakukan untuk menjamin kualitas air yang baik untuk pertumbuhan organisme budidaya. Sebaiknya juga dalam pemasukan air menggunakan sistem dua saringan untuk mencegah masuknya organisme pembawa patogen.

Benih terbebas dari penggunaan obat kimia yang membahayakan konsumen. Sedangkan obat antibakteri pada saat dewasa harus diminimalisir, CBIB menekankan pada tindakan preventif dengan memperbaiki kualitas lahan dan air pada saat persiapan dan pengelolaan air. Begitu halnya dengan pakan, bahan bakunya tidak menggunakan pestisida, bahan kimia, logam berat dan kontaminan lain yang dilarang.  

Pada saat panen, menggunakan air bersih untuk membersihkan udang. begitu halnya dalam penggunaan es saat panen. Es berasal dari pabrik yang diakui sebagai penyalur es dan memenuhi tandar seperti air minum. Pada saat panen juga diupayakan dengan memerhatikan suhu, sebab kenaikan suhu dapat menyebabkan penurunan suhu produk. Serta memperhatikan teknik panen untuk mencegah terjadinya luka pada tubuh udang. Luka dapat menyebabkan kontaminasi yang dapat menurunkan kualitas udang. peralatan yang digunakan dalam panen juga harus bebas dari kontaminasi bakteri dan mudah dibersihkan. Kegiatan setelan panen, seperti sortasi, penimbangan, pencucian, pengeringan, harus dilakukan dengan cepat, higienis dan tanpa merusak produk. Demikian juga dalam pengangkutan produk, diusahakan agar segala peralatan terjaga kebersihannya, seperti boks dan wadah. Limbah setelah panen sebaiknya dibersihkan, udang yang mati dikubur dan tidak ada tumpahan minyak, dll.

Hal utama dalam poin CBIB yaitu mekanisme pencatatan, sehingga petani diharapkan dapat mencatat proses produksi sejak persiapan lahan, pemasukan air, pengukuran kualitas air, penebaran benih, pemberian pakan, panen dan pasca panen. Hal ini bertujuan untuk melacak titik-titik kelemahan saat proses produksi dan juga sebagai bahan pelajaran untuk memperbaiki kualitas lahan dan budidaya pada siklus berikutnya.


Untuk para pekerja, dalam CBIB, para pekerja menerima pelatihan tentang sanitasi dan keamanan pangan serta mengajak pekerja dan pembudidaya untuk memperhatikan kebersihan dan kesehatan pembudidaya, untuk mencegah penularan penyakit pada udang.Prosedur penerbitan: Unit usaha pembesaran ikan mengajukan permohonan sertifikat CBIB ke Direktur Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) dengan rekomendasi DKP Provinsi dan dilengkapi dokumen: (1) Foto Copy izin usaha perikanan (IUP) bagi unit usaha berbadan hukum atau surat keterangan budidaya bagi  kelompok pembudidaya ikan. (2) Data umum unit usaha pembesaran ikan. (3) Daftar fasilitas dan standar prosedur operasional unit pembesaran ikan. (4) Jumlah dan pendidikan tenaga kerja  unit pembesaran ikan. (5) Pencatatan/rekaman unit pembesaran ikan. (6) Struktur organisasi dan uraian tugas. (7) Gambar layout bangunan dan petakan unit pembesaran ikan. Berdasarkan pengalaman Ir. Nurdin, prosedur di atas biasanya tidak dijalankan. Hal tersebut medorong pihak dinas untuk berinisiatif mendatangi pembudidaya yang sudah memenuhi syarat-syarat sertifikasi, kemudian diusulkan ke provinsi hingga ke kementerian. Kementerian nantinya yang akan menurunkan tim ahli untuk melakukan pengujian.




0 komentar:

Sosialisasi BMP Budidaya Udang Windu di Kec. Suppa, Kab. Pinrang (Bagian I)