semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Menulis untuk Anak-Cucu

Tiga hari ini saya berkutat dengan sebuah buku, yang menurut pembaca sejarah yang masih awam seperti saya ini sunggu bagus, dengan perngertian sebenarnya. Dengan berani Geert Mak, memberi judul buku setebal 753 halaman itu "Abad Bapak Saya", ditambah gambar sampul sebuah suasana kota kuno di Deli tahun 30-an.


Geert mengisahkan tentang rona hidup keluarga besarnya, dimulai dari sebuah sudut kota pelabuhan Netherland, Schiedam, tahun 1890-an. Kota yang malam hari temaram lantaran belum tersentuh listrik, penduduk yang giat bekerja di perusahaan bir, tumpahan bir di jalan kadang-kadang dinikmati oleh anjing dan hewan-hewan ternak, membuat sapi-sapi berjalan sempoyongan.
Bapaknya lahir dengan darah religius kental dari kedua orang tuanya. Khususnya nenek, yang mengimani dengan taat konten injil dalam pengertian yang harfiah. Sedangkan bapak, meski rajin ke gereja, cenderung berfikir bebas dan tidak terlalu ngotot dengan formalisme kitab. Lanjut cerita, pada perkembangan berikutnya terjadi abad pemisahan yang begitu rumit dan meresahkan di kota dan desa Netherland, antara kaum kristen hervormd yang lebih bebas menafsirkan kitab, dan gereformeerd yang agak kaku dalam penafsiran kitab.
Pada awal abad 20, dengan perkembangan jaringan kereta api, kapal layar, listrik, dan majunya industri, serta melajunya bisnis percetakan, membuat jarak dan waktu terpangkas demikian rupa. surat kabar yang berbasis aliran ideologi agama disebar dengan cepat, dan para penganut pun dengan khidmat melahap pikiran-pikiran para pastor-pendeta dalam setiap nomor edisi. Perdebatan pun terjadi dimana-mana, bahkan dalam keluarga-keluarga.
Pada Zaman yang Indah, kata lain dari awal abad 20 itu, terjadi luapan semangat yang luar biasa pada segenap pemuda seluruh negeri di Eropa. Di sudut-sudut, di dalam gudang, pinggir-pinggir jalan, cafee-cafee, para pemuda dengan riang mendiskusikan tema nasionalisme. Mereka terhanyut dalam gelombang cinta tanah air, yang dibesar-besarkan oleh mars-mars, yang mereka dengar hampir setiap hari. Ledakan ekonomi akibat majunya industri yang digodok sekitar 40 - 50 tahun, surplus pemuda, optimisme yang melunjak, berkembangnya industri senjata, kelimpahan itu meledak dengan sengaja dalam bentuk perang dunia 1. Pemuda-pemuda diantar oleh kereta menuju medan pertempuran, sambil bercanda, "haduh, bahagianya kamu, bisa langsung ke perbatasan verdun". Mereka berangkat seakan-akan hendak ke pesta.
Keinginan pihak-pihak tertentu untuk memperluas wilayah jajahan, ekspansi industri dan pasar, desakan modal yang kian membuncit, perang pada akhirnya memakan jutaan korban. Betul, imperium runtuh, kerajaan diambil alih, dan rasionalisasi mengisi cela-cela pemerintahan pasca perang, tapi Eropa pada umumnya dirugikan, dengan separuh laki-lakinya (negara yang terlibat perang) mati di perbatasan. Ekonomi merosot hingga batas-batas terjauh. Tapi, pelan-pelan, tumbuh lagi optimisme, bentuk sastra baru muncul, aliran musik hadir dalam bentuk yang tidak dikenali sebelumnya. Para pemuda mulai mengenal pemikiran-pemikiran baru. Kehidupan baru. Eksistensi memang lahir dari tekanan tinggi pada batas-batas kesanggupan.
Dalam Abad Bapak Saya, dijelaskan Belanda merupakan negara yang terhindar dari serangan Jerman, sehingga secara kejiwaan sedikit berjarak dengan warga negara lain yang lebur hancur. Warga Belanda masih terhubung dengan tradisi-tradisi sebelumnya, namun mereka tertinggal dari bangsa-bangsa yang ikut berperang, lantaran semangat hidup serta kreatifitas mereka justru lebih menggeliat.
Menariknya, dalam buku ini dikisahkan kondisi tanah air saat Catrinus Mak, sang bapak melancong ke Hindia belanda, khususnya medan, untuk memimpin ummat kristen gereformeerd yang jumlahnya ribuan. Catatan ayahnya meninggalkan pengetahuan mendalam tentang suasana kota, perkebunan karet dan tembakau yang sedang tumbuh-tumbuhnya. Para pegawai, pekerja kebun, serta para pemberontak yang menimbulkan kegelisahan pada warga kulit putih, yang jumlahnya hanya 100.000 dibanding jutaan penduduk Hindia Belanda.

Dikisahkan bentuk kontrol operasi yang ketat perusahaan perkebunan pada para buruhnya, yaitu ordonansi kuli. Ribuan buruh dari dataran Jawa didatangkan ke Deli, mereka menandatangani kontrak kerja, dengan perjanjian-perjanjian di luar batas nalar. Salah satunya, adanya aturan pidana bagi pekerja yang lari dari kebun. Selain itu, mereka diharuskan untuk menciptakan makanan sendiri dengan menanam di perkebunan. Menurut salah seorang guru Indonesia di perkebunan, Tan Malaka, para buruh kontrak tinggal "seperti kambing dalam kandangnya", "Mereka adalah golongan yang setiap saat dipukuli atau menerima umpatan godverdomme".

Bla-bla-bla, halaman terakhir saya baca yaitu halaman 195, sehingga tak dapat lagi saya lanjutkan kisah buku yang telah saya coba untuk merangkumnya dengan cukup padat dan melompat-lompat.
***
Hikmah apa kiranya yang dapat kita peroleh dari buku "Abad Bapak Saya" ini? Satu hal yang cukup dalam terproses dalam pikiran saya, yaitu awetnya sebuah kenangan lewat catatan orang tua kepada generasi pelanjutnya, anak atau cucunya.
Generasi kita, pasti sangat ingin mengetahui kiprah kita beredar di muka bumi. Apa yang kita lakukan, apa yang kita pikirkan, apa yang kita hendak capai, bagaimana prosesnya, dalam kondisi apa kita berjuang hidup?
Mereka rindu dan menikmati kisah-kisah yang berasal dari orang tua mereka. Dan mungkin akan berpengaruh terhadap persepsinya kepada dunia. Itulah sebabnya, coretan-coretan seseorang akan sangat berharga, bukan hanya saat ini, jika terdapat korelasi di zaman ini. Tapi, lebih pada di masa depan. Dimana pembacanya adalah darah daging kita sendiri. Yang mungkin akan melanjutkan kisah kita kepada generasi berikutnya lagi.
Untuk itu, tidak ada alasan untuk tidak mencatat, membuat ulasan tentang peristiwa saat ini. Apa yang kita pikirkan terhadap kasus-kasus yang muncul saat ini. Bukan hanya untuk legacy-warisan kita kepada pembaca di zaman ini, tapi juga bagi generasi kita, yang rindu kisah pendahulu-pendahulunya.

Sekretariat identitas, 9 April 2016





0 komentar:

Menulis untuk Anak-Cucu