semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Gondrong

Sepekan terakhir, kawan-kawan di media sosial ramai membincangkan tentang rambut gondrong. Berawal dari postingan seorang teman tentang adanya pelarangan mahasiswa gondrong untuk masuk ke perpustakaan salah satu fakultas di Unhas.
Kita pun tertawa, ada yang lucu mengenai asosiasi antara rambut gondrong dengan indikasi negatif yang biasa dilekatkan ke manusia yang berambut gondrong, seperti susah diatur, suka melawan, kotor, dll. Kita pun lalu menawar-nawarkan bahwa para ilmuwan, sastrawan, negarawan, yang dapat kita ringkas sebagai orang besar, banyak yang berambut panjang.
Saya tiba-tiba berfikir, pada dasarnya, apa syarat seseorang mampu mengoptimalkan bakatnya hingga menjadi orang besar? Orang menjadi bernilai di mata masyarakat, berguna bagi bangsa adalah mereka yang tekun dalam mengasah kemampuan, pantang menyerah, rasa ingin tahu yang tinggi, yang harus didukung oleh semangat bebas yang dalam hal ini kemerdakaan dalam berfikir dan bertindak. Nah, rambut gondrong identik dengan kemerdekaan itu, gondrong menandakan kebebasan mengekspresikan diri untuk menjadi sesuatu yang sesuai dengan nilai-nilai ideal yang mereka anut.
Lantas, ketika manusia tidak bebas lagi mengekspresikan tubuhnya, rambutnya, tubuh terperangkap dengan aturan-aturan, pikiran pun akhirnya ikut-ikutan, manut pada norma-norma moral yang pada dasarnya hanya berpihak pada kelompok-kelompok penguasa.
Nah, apa jadinya ketika mahasiswa menjadi tidak bebas? Mahasiswa tidak menjadi apa-apa, selain menjadi pekerja. Jadi, jangan membayangkan muncul bibit-bibit Einstein di Unhas, jangan terlalu berimajinasi ada Newton muda dari kampus Ayam ini. Yang ada hanya gerombolan anak muda yang siap diserap oleh pasar kerja. Mereka adalah bibit pekerja yang patuh, disiplin, dan siap diperbudak oleh pemilik modal, dengan menjual jasanya ke pasar kerja asalkan mereka dapat turut menikmati gaya hidup kelas menengah. Toh, mereka sudah susah-susah membayar kampus untuk menggembleng mereka menjadi pekerja yang sesuai dengan keinginan pasar kerja.
**
Kita barangkali masih ingat bagaimana perlakukan militer mendikte tingkah laku anak muda, yang dengan kasar menerobos urusan-urusan anak muda yang bersifat sangat pribadi, yaitu penataan rambut. Operasi intimidasi tidak menggunakan senjata api, tapi menggunakan gunting, tentara mencoba menerapkan nilai-nilai kedisiplinan pada anak muda tahun 1970-an. Dokumen yang dengan detail menjelaskan pristiwa sejarah tersebut secara sosiologis ada pada buku "Dilarang Gondrong! Praktik Kekuasaan Order Baru Terhadap Anak Muda Awal 1970-an" yang ditulis Aira Wiratma Yudhistira.
Apa yang dilakukan oleh pengambil kebijakan tersebut tak lain meneruskan logika para penguasa militer dahulu dalam memperlakukan gaya anak muda untuk tampak mirip prajurit (Penguasa selalu ingin memaksakan nilai-nilainya ke masyarakat umum). Beruntung karena pihak kampus belum menggunakan gunting, tapi hanya berupa larangan terhadap mahasiswa gondrong untuk menggunakan fasilitas kampus (perpustakaan). Tapi hal tersebut sudah menunjukkan kekerasan simbolik terhadap para ngondrongers.
Selain itu, jika kita menelusuri tradisi-tradisi masa lalu, rambut gondrong merupakan tradisi para bangsawan di Nusantara, baik di Sulawesi maupun di Jawa dan Sumatera. Makanya Sultan Hasanuddin juga gondrong. Berarti, orang gondrong turut melestarikan tradisi para bangsawan, dan saya yakin, orang-orang gondrong yang dalam hal ini mahasiswa, juga mewarisi sifat-sifat kebangsawanan. Pelarangan gondrong, merupakan upaya sistematis untuk menggerus nilai-nilai kebangsawanan, seperti keberanian, kejujuran, tanggungjawab, kepemimpinan.
Pelarangan gondrong merupakan tindak pemaksaan kehendak untuk mendisiplinkan, mengatur, mengendalikan alam bawah sadar, agar segala keputusan-keputusan penting penguasa, misalnya kebijakan keuangan, tidak mendapat perlawanan-kritik, dari mahasiswa yang bebas-yang gondrong.
Hidup Gondrong.




0 komentar:

Gondrong