semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Bincang - Bincang

Saya tak dapat membayangkan keadaan manusia tanpa di selimuti perbincangan. Manusia menjadi tidak tahu dan tidak mau tahu tentang apa saja, ia tak dapat lagi dibedakan dan membedakan, apakah ia manusia ataukah alam. Barangkali, manusia tanpa bahasa ibarat pohon yang tumbuh, hidup dari matahari dan unsur-unsur di bumi. Tapi, manusia bukan pohon, ia membutuhkan banyak hal, bukan hanya panas surya dan hara tanah.
Manusia hadir, pelan-pelan mengolah alam sekitarnya dan menciptakan bahasa. Bahasa digunakannya untuk saling koordinasi, saling pengertian, saling mengungkapkan pikiran dan perasaan. Bahasa pun adalah cerminan eksternal manusia, yang diinternalisasi. Bahasa dipertukarkan, diperkaya oleh percakapan, baik dengan kawan, maupun melalui dialog dengan bacaan. Makanya seorang filsuf bernama Ernst Cassirer mendaku bahwa esensi dari manusia adalah simbol atau homo simbolik, yang akhirnya menegaskan bahwa manusia adalah mahluk sosial.
Dengan bahasa kita berbincang, dengan nada-nada gembira dan juga gelisah. Kita mengeluarkan material abstrak menggunakan lidah, dengan getar yang berbeda pada setiap orang. Getar yang sebabkan oleh mekanika di balik lapisan daging di leher kita, dan getar yang berangkat dari tekad kita, yang juga sangat dipengaruhi oleh kemarahan, emosi, dan juga ketakutan.
Bincang-bincang menghidupkan kita, membuat kita berfikir, menalar, memancing kita bekerja. Sebagaimana bekerja, kita memperoleh sesuatu darinya. Ada sesuatu yang keluar dari diri kita pada saat bicara, yang esensial, yang eksistensial, pengetahuan kita, gelisah kita, hasrat kita, yang menentukan harga dan nilai kita.
Kita pun menyimak kata-kata teman bicara, ada yang kita afirmasi dan ada yang kita bantah, kita sepakat dan tidak sepakat, tapi kita mengakui perbedaan. Sebagaimana bekerja, kita puas dengan itu. Sebab, kata-kata, kalimat, dan paragraf, yang meluncur dari kita adalah hasil usaha, hasil tekad kita untuk berbagi. Dalam bekerja pun kita biasanya puas dengan hasilnya, ibarat pelukis puas dengan hasil lukisannya, koki puas dengan masakannya, penulis puas dengan tulisannya, pemain sepak bola puas dengan gol-golnya.



Bincang-bincang yang kita lakukan dimana-mana itu, ketika kita menyesuaikan frekuensi, melonggarkan otot-otot, memusatkan perhatian pada kata-kata, pikiran dan gagasan. Di situ kita saling memberi energi, serupa vitamin, kita menyerap unsur-unsur dalam kata-kata untuk kesehatan pikiran dan jiwa kita. Dari situ juga, kita makin yakin akan langkah-langkah yang telah kita rancang di pikiran, yang terus hadir, sedikit demi sedikit, bagai potongan mozaik dari gambaran besar kenyataan di masa depan. Meski masa depan itu tidak cerah. Tapi murung. Justru dari kemurungan masa depan itu, banyak dari kita yang malah menjadi cerah.
Bincang-bincang itu merawat pikiran kita, ia seperti air yang terus kita minum sepanjang jantung kita berdetak, bekerja mengedarkan air kental bernama darah. Andai apa yang terjadi ketika bincang-bincang itu dikerdilkan? dikendalikan? dan direndahkan? Atau bincang-bincang hanya berputar soal terik matahari yang membuat kita cepat lelah, tentang perempuan baru di kantor, tentang makanan di sudut jalan yang kurang gurih, tentang keluaran mobil terbaru, tentang remah-remah roti di atas kasur?
Kita lupa atau tidak punya keiinginan untuk membicangkan nasib kita, nasib negara kita, nasib agama kita, nasib masa depan alam kita. Kita raib dalam membincangkan semakin sulitnya hidup dan penyebab kesulitan-kesulitan hidup itu. Kita malas membincangkan skenario-skenario para penindas yang merampas harta dan kekayaan alam dan bangsa kita. Kita tutup mata terhadap fenomena-fenomena yang dari ke hari menghampiri kita, semisal beras impor, garam impor, ikan impor, terigu impor (gandum), kedelai impor, buah impor, mobil impor, pikiran impor, teknologi impor dan impor-impor yang sangat banyak jenisnya itu.
Kita seakan-akan tak punya waktu untuk mendiskusikan hal-hal seperti keanekaragaman hayati kita yang kian lama kian berkurang. Padahal, keanekragaman hayati itulah identitas kita, potensi kita, yang membuat kita menjadi bangsa yang makmur, merdeka, berdaulat, menjadi bangsa yang kaya raya.
Kita semakin kesulitan untuk mencerna dan menggelisahkan cadangan batu bara, minyak, emas, besi, nikel kita yang kian lama kian berkurang, Pihak-pihak tertentu terus menerus mengeruk, menghisap kekayaan kita, kekayaan yang diwariskan dari leluhur kita, yang dahulu berdarah-darah merebut kemerdekaan demi kedaulatan anak cucunya.
Sementara rakyat banyak tetap saja menderita, yang dari hari ke hari bekerja keras, hidup untuk hari ini, esok lusa belum tentu. Rakyat banyak masih bergulat dengan hal-hal sederhana, menguras energi seharian untuk menghidup diri dan keluarganya. Agar anak-anaknya dapat gizi yang cukup, dapat bersekolah, dan dirawat di rumah sakit dengan baik ketika terjangkit penyakit.
Rakyat berjuang dalam hidup, mengandalkan tenaganya, kekuatan fisik dan pikirannya. Dan banyak di antara mereka yang berjuang sendiri atau bersama komunitasnya. Banyak diantara mereka yang tidak tersentuh oleh program-program pemerintah, program-program pemberdayaan masyarakat LSM, oleh program Kuliah Kerja Nyata (KKN) mahasiswa, banyak di antara mereka yang bertanya-tanya dan mencari jawab, bagaimana mana mengatasi hidup yang ganas ini, dimana lahannya tempatnya menggarap sehari-hari sudah kritis akibat kerusakan lingkungan, hingga akhirnya mereka makin frustasi dan memutuskan untuk menjual lahannya. Ada pula yang termakan bujukan kaum berpunya untuk menjual lahan-lahannya, karena ketidaktahuan akan gambaran besar modal dan proyek pembangunan. Membuat mereka kehilangan ladang, dan akhirnya menjual tenaganya sebagai buruh pabrik, dengan harga yang sangat murah.
Banyak pula di antara mereka yang telah memperoleh program pemerintah, program LSM, program KKN mahasiswa, tapi senyata-nyatanya, mereka masih tidak sanggup mendefenisikan metode apa yang harus ditempuh agar hidup bisa dijalani dengan agak ringan. Entah, hal ini menimbulkan pertanyaan, apa yang salah dari setiap program itu?
Bincang-bincang lain, yang mungkin kita seriusi adalah bahwa banyak hal berguna di alam dan di masyarakat kita yang belum diseriusi dengan baik. Rakyat kita sejatinya mampu memproduksi beras hingga kita mampu mengekspor beras ke bangsa-bangsa lain, rakyat kita sejatinya mampu memproduksi garam sehingga kita tak perlu membeli garam dari pantai negara lain, rakyat kita mampu mengolah buah-buahan, sayur-sayuran, biji-bijian, yang secara logika tidak perlu lagi kita meminta-minta apel, jeruk dari negara lain. Rakyat kita mampu memproduksi ikan hasil laut yang luasnya tiada tandingan, sehingga kita tak perlu khawatir dengan gizi protein Indonesia.
Tapi, itu semua jika kita serius membicangkan hal-hal ini, sedetail-detailnya, sedalam-dalamnya. Agar kita menemukan jalan keluar dari kerumitan persoalan-persoalan hidup ini, entah persoalan makan, persoalan makna, ketakutan, kesenian, budaya, stabilitas sosial, dan tentang eksistensi diri kita.
Saya hampir lupa bahwa tulisan kita tentang bincang. meluber-luber hingga jauh. Maklum, tulisan kali ini bukan bermaksud untuk membuat tulisan yang berisi gagasan yang runut, tapi sekadar ingin berbincang-bincang dengan handai touladan sekalian.

Selamat malam, selamat menanti bulan ramadhan.

Selasa, 16 Juni 2015
Idham Malik




0 komentar:

Bincang - Bincang