semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Nonton Tivi Pagi Hari

Dua hari ini, tiap pagi saya menonton tivi. Sebelum-sebelumnya saya sangat jarang menonton tivi, karena memang tidak ada tivi dan tak tertarik menonton. Jadilah saya menyaksikan ceramah agama tiap pagi, yang dilanjutkan dengan menonton informasi seputar artis.
Saya mendengar ceramah mereka, namun tidak menarik, justru yang menyiksa batin saya adalah pakaiannya. Pakaian para ustad - ustadzah itu jauh berbeda dengan pakaian para tamunya, yang biasanya ibu-ibu, yang dengan sopan mendengar ceramah, disertai sedu sedannya. Pakaian ustad - ustadzah itu lebih cemerlang, lebih kinclong, dengan balutan-balutan yang rumit, busana itu pun disponsori oleh desainer ternama. Sedangkan pakaian para tamu biasanya normal berupa kebaya, homogen, dan tampak sederhana.
Begitu halnya dengan liputan artis, sorotan tentang artis itu memperlihatkan gaya hidup mereka yang memerlukan ongkos tinggi, yang ditunjukkan dengan pakaian yang berbahan mahal, potongan yang rapi dan halus, serta sentuhan desainer khusus. Membuat kita terpesona dan hasrat kita memancar. Kita pun terpaku, kemewahan itu meresap ke alam sadar kita, bahwa ada sebuah dunia yang bernama dunia elit, dunia atas, yang bagi kebanyakan masyarakat umum akan kewalahan menggapainya. Kita pun akhirnya menyerah dan menikmati saja kemewahan itu melalui visual kita, lalu turut-nurut meresapkan diri dalam problematika mereka yang remeh temeh.
Hal-hal yang tampak sepele ini menimbulkan pertanyaan yang mungkin juga remeh. Untuk apa sebenarnya perbedaan-perbedaan seperti itu? Lantas, kenapa harus diumbar di televisi-televisi kita, bahkan televisi-televisi seluruh dunia? Kenapa harus ada artis? Menjawab pertanyaan ini, kita memerlukan analisa khusus, dan analisa kita itu berbasis pada keberpihakan kita pada suatu ide, suatu pemikiran.
Artis hadir di hadapan kita saban pagi, siang, sore, malam, bahkan subuh jika ramadhan berlangsung, tak lain hanyalah untuk menunjukkan kepada kita bahwa di dunia ini, ada perbedaan mencolok antara orang kaya dan orang yang biasa-biasa saja (yang modalnya cekak dan hidupnya hanya mengandalkan gaji upahan). Kehadiran artis-artis itu pun akhirnya melegitimasi kekuasaan orang-orang kaya, bahwa hanya orang-orang kaya-lah yang boleh tampil, hanya orang-orang pintar-lah yang bisa bercas-cis-cus di televisi, massa rakyat yang kebanyakan, dan dianggap buas dan tolol itu sebaiknya jadi penonton sahaja, mereka harus dikendalikan oleh segelintir orang yang punya modal, punya pengetahuan, punya kekuasaan atas kebudayaan.
Selain itu, gaya hidup tinggi ini menunjukkan suatu sikap tertentu pada kita, yaitu sikap melayani diri sendiri, memperkaya diri sendiri, hidup mewah, dan tidak menunjukkan sama sekali sebuah budaya yang mengidamkan sebuah integrasi sosial yang tinggi. Dan lagi-lagi, hal ini pelan-pelan meresap ke alam bawah sadar kita, semakin mengukuhkan bahwa dalam hidup ini, yang harus kita kejar adalah akumulasi, menghimpun modal sebanyak-banyaknya, Kita tak pusing lagi dengan persoalan-persoalan sosial, budaya, pengetahuan yang tak menunjang kemampuan kita dalam akumulasi modal. Kita pun lupa bahwa, tujuan dari kemanusiaan kita itu adalah terciptanya hubungan antar manusia yang merdeka dalam kesetaraan, dalam kebersamaan dan kerjasama, turut berpartisipasi secara setara untuk mencapai tujuan-tujuan bersama yang telah disepakati secara demokratis.



Adam Smith, yang didaku sebagai penggagas ekonomi modern, yang memikirkan bagaimana sebuah bangsa mencapai kemakmuran secara optimis, juga mengecam prilaku tersebut sebagai "prinsip jahat dari penguasa-penguasanya manusia, yaitu semua untuk diri kami sendiri, dan tak ada buat orang lain". Namun, apa mau dikata, hal itulah prinsip yang berlaku saat ini, dan saat-saat yang lalu sejak Revolusi Industri di Inggris dikobarkan. Prinsip yang menjadi semangat baru zaman ini tersebut diproklamirkan di segala lini, mulai dari pendidikan kita, melalui media, melalui mulut-mulut intelektual kita.
Begitu halnya dengan ceramah-ceramah pada pagi-pagi itu, warga yang datang ke sana untuk mendengar dan bertanya, adalah warga yang dianggap polos, yang perlu ditegur, ditekan, dijawab dengan suara tinggi. Mereka tak dibiarkan untuk berdebat sedikit pun dengan sang pemilik pengetahuan (ustad - ustadzah), setelah mereka bertanya dengan segala kekuatan dan kegelisahan mereka, akhirnya mendapat jawaban seadanya, yang bersifat moralis, namun tidak dapat memecahkan persoalan yang mungkin saja bersifat struktural, material, ataupun relasional, mereka pun terpaksa puas dengan jawaban, menunduk, senyum dan berterimakasih. Sang pemilik pengetahuan itu, tak mencoba menelisik, kira-kira penyebab kebejatan moral masyarakat itu berasal dari mana, apakah kebejatan moral atau kriminalitas itu lantaran murni dari pelaku, ataukah ada faktor-faktor lain yang memaksa mereka untuk bertindak bejat atau kriminal.
Yah, begitulah adanya kehidupan kita, disergap dengan segala cara, dari segala arah, pada setiap kala, di mana-mana. Kita tak dapat lari, kita tak dapat menghindar, yang dapat kita lakukan, dengan seminim-minimnya usaha adalah dengan melihatnya dengan sadar, hal-hal apa saja yang membelenggu kita.
Tulisan ini tak menganjurkan kepada Anda untuk tidak menonton tivi, tapi sebaiknya bijak-bijaklah menonton tivi, jagalah pikiran Anda, nurani Anda, dari para perampok pikiran, para pemerkosa batin. Yang bisa saja datang menculik pikiran Anda di pagi hari.
Renon, Denpasar,
27 Mei 2015




0 komentar:

Nonton Tivi Pagi Hari