semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Membedah Alam, Membedah Kehidupan

Beragam cara untuk membuat kita hanyut dalam ketidakpahaman terhadap alam. Meski kitalah yang sedang gembor-gembornya menyebut diri kita hero dalam hal tersebut. Ya, kita memang tahu banyak hal tentang alam, tentang spesies-spesies yang mungil dan menakutkan. Tapi, kita tak benar-benar tahu atau sengaja mengelak untuk tahu bahwa yang kita lakukan itu barangkali hanyalah kamuflase, hanyalah bayang-bayang yang dikejar semakin jauh dan tak akan pernah kita temukan.

Kita mengerjakan sesuatu berdasarkan pengetahuan teknis kita. Membicarakan alam berdasarkan kalkulasi, hitung-hitungan, persentase, target, tanpa sedikit pun sentuhan batin. Kita dapat dengan santai mengurai alam dengan angka-angka sambil bergurau, merasakan kenikmatan melihat orang-orang sekitar kita kebingungan dan mengantuk dengan angka-angka itu.



Segala sesuatu yang berasal dari luar pengetahuan teknis dan di luar pengalaman ilmiah kita, ditolak. Entah karena tidak dapat diukur, buang-buang waktu, atau tidak menunjukkan progress yang konkrit. Misalnya, berurusan dengan manusia, orang lokal, komunitas adalah tindakan yang mengulur-ulur waktu dan membuang tenaga. Hal tersebut pun menjadi urusan pihak lain, misalnya diperuntukkan bagi mereka yang tertarik dengan ilmu sosial, itu pun dengan harapan bahwa ilmu sosial juga dapat dikalkulasi.

Pengetahuan itu kita peroleh dengan susah payah di bangku sekolah dan kuliah, pengetahuan itu ibarat martil yang kita bentuk jauh dini hari, yang tujuannya untuk memukul paku pada dinding-dinding. Pengetahuan itu kita peroleh dengan dana yang besar, dengan sponsor yang tak tanggung-tanggung. Kita pun dengan tekun mempelajarinya, dengan harapan yang sangat besar bahwa dengan modal pengetahuan itu, kita dapat hidup sejahtera dan nyaman. Meski sebenarnya dengan pengetahuan itu, justru dapat menimbulkan ketidaknyaman pada kita. kenapa? Karena dengan pengetahuan itu kita melihat persoalan yang demikian besar, yang harus segera ditangani agar kerusakan alam tidak semakin meluas dan membesar. Pengetahuan mestinya membuat kita bersedih, bukan membuat kita tertawa terbahak-bahak.      

Pengetahuan itu merasuk dalam diri kita sebagai metode untuk membedah permasalahan, menganalisa, dan mencari solusinya. Pemecahan yang kita tawarkan adalah pemecahan teknis, karena kita menganggap diri kita adalah orang teknis. Sejauh kita telah menawarkan solusi teknis, sejauh itulah perjuangan kita. Kita merasa bebas ketika kita telah mengerjakan tugas ilmiah, dan mulai mengerjakan tugas ilmiah yang baru lagi. Ketika terjadi kerusakan lingkungan di sekitar kita, kita tutup mata, karena menganggap itu bukan tugas kita, bukan keahlian kita. Kita memikirkan suatu persoalan ketika kita ditugaskan untuk memikirkan hal itu, bukan karena keinginan kita sendiri untuk tahu, untuk berbuat mengatasi persoalan tersebut. 

Lantas, persoalan lingkungan yang mungkin kita temui di keseharian itu tidak merasuk ke sanubari, lagi-lagi karena bukan tugas kita. Kita merasa tidak terlibat, kita merasa jauh, kita tidak dekat dengan orang-orang yang berurusan langsung dengan persoalan tersebut. Pun, jika kita dengan terpaksa harus terlibat pada persoalan tersebut, kemampuan kita hanya dengan membedahnya, menganalisanya, seperti anak kecil yang belajar biologi membedah reptil, memotong-motong organ tubuh reptil tersebut dengan dingin.

Kita pun secara tidak sadar menyetujui ketidakinginan kita untuk memahami keterkaitan dalam totalitas, memikirkan lingkungan dengan mencoba melampaui batas horizon kita, melewati cabang-cabang keilmuan kita. Padahal, permasalahan selalu melampaui kemampuan keilmuwan kita untuk memecahkannya. Permasalahan lebih kompleks, disebabkan oleh banyak faktor, yang tidak terduga, dan kadang-kadang disebabkan bukan oleh faktor teknis, tapi non teknis yang selalu saja sulit kita kendalikan, misalnya karena faktor politik, sosial, budaya, dan ekonomi (eksploitasi Sumberdaya Alam). Jika berkenaan dengan itu, kita pun mulai menghindar, lagi-lagi karena merasa hal itu bukan dunia yang kita kenal dan kita kuasai. Kita pun mengidentifkasi diri kita berdasarkan kemampuan kita bekerja dengan menggunakan alat, metode (ilmu pengetahuan), bukan berdasarkan ideologi atau pun nilai-nilai yang kita anut. Bukan karena dorongan hati yang kuat untuk melawan penindasan terhadap alam. Kita sejatinya adalah intelektual pekerja atau Intelektual worker.

Kita adalah pekerja yang patuh mengikuti prosedur yang telah digariskan oleh perusahaan. Logika perusahaan pun singkron dengan logika saintifik kita, yaitu berbasis rencana, terukur, kalkulasi, hitung menghitung. Selain itu, perusahaan pun memandang kita sebagai objek, dengan cara memanjakan kita dengan beragam fasilitas, dengan beragam agenda liburan, perusahaan pun memberi reward/penghargaan bagi mereka yang berhasil mencapai target. Perusahaan memberi makan rohani kita dengan fasilitas-fasilitas mewah dengan harapan kita dapat produktif. Padahal, kemewahan adalah awal dari bencana, gaya hidup adalah bencana terbesar jika berbicara tentang lingkungan. Kerusakan lingkungan dimotori oleh semangat kita-manusia untuk memproduksi, lantaran nafsu konsumsi kita yang semakin besar. Semakin banyak produksi dan konsumsi berarti semakin banyak sampah, semakin banyak sumberdaya alam yang dikeruk.     

Kita menikmati kemewahan tersebut, tanpa bertanya-tanya sedikit pun tentang apa tujuan dari kemewahan itu. Kita makan sepuasnya, kita berkeliling dunia, mengunjungi tempat-tempat yang indah dan memamerkan ke orang lain bahwa kita pintar dan bisa kemana-mana. Karena saking seringnya bersenang-senang, kita pun mulai malas memikirkan hal-hal yang mungkin akan menggugah kita, misalnya perusakan lingkungan oleh perusahaan, hilangnya akses masayarakat akan hutan, menghilangnya keanekaragaman hayati, dan lain-lain. Kita menguar-nguar perbincangan-perbincangan yang sepele, seakan-akan tidak ada lagi perbincangan yang serius, yang butuh diperhatikan. Kita pun mulai memisahkan bahwa perbincangan serius, tentang kemiskinan, tentang kejahatan, tentang penegakan keadilan, tentang nasib hewan-hewan, adalah urusan pekerjaan, sementara sehari-hari kita hanya berbincang tentang tingkah laku teman-teman, tentang makanan, dan tentang tempat-tempat yang indah.

Kita mengandaikan diri kita seperti sekrup, yang dimana kita hanya menjadi bagian untuk menghidupkan mesin secara keseluruhan. Kita menjadi sangat hebat sebagai sekrup, sebagai sekrup yang baik, patuh, dan lucu. Namun, untuk mencoba menginisiasi diri kita untuk sekadar peduli organ lain, kita emoh. Kita tak mau bersusah-susah payah untuk belajar ulang, minimal mengerti baik-baik persoalan dengan beragam sudut pandang.  Parahnya lagi, jika kita bergerak, kita berbicara, kita hidup hanya jika ada materi. Kita berjalan dan bernafas bukan lagi karena kita ingin bergerak untuk melakukan sesuatu, kita berlari tidak lagi seperti jawaban Forest Gump, bahwa saya berlari karena ingin berlari saja. Simple. Sederhana.

Kita pun selalu mengklaim bahwa pengetahuan adalah netral, tugas kita hanya menghasilkannya, entah pengetahuan itu tujuannya digunakan untuk apa? kita masa bodoh tentang hal itu. Ilmu Pengetahuan itu tidaklah netral, ilmuwan pun tidak pernah netral, ketika seorang ilmuwan diam-diam saja melihat penyelewengan di depan matanya, berarti ilmuwan itu telah membiarkan penindasan terjadi, dan secara tidak langsung  ilmuwan itu mendukung penindasan tersebut.

Akhirnya, kita hanya membesarkan diri kita sendiri, membesarkan kemampuan kita untuk membedah alam, mengkoyak-koyak mereka dengan kata-kata cerdas kita. Alam tak mengerti, orang umum tak mengerti, dan kita pun berada di atas angin, seperti sampah yang terapung oleh angin beliung.

**

Saya pun membayangkan diri saya ikut terpenjara, justru karena rasa ingin tahu saya tentang yang lain. Pengetahuan tentang penggalian pertanyaan kenapa? Kita selalu berbicara tentang “bagaimana”, tentang strategi, tentang metode untuk menguasai, untuk mengajak, untuk bertempur. Kita seperti berada di medan tempur yang harus bisa bernegosiasi dengan pedagang, dengan tuan-tuan, dengan gaya yang ‘eye cathing’. Kita pun akhirnya kembali mengapung-apung dalam ruang tanpa eksistensi, kita hanya bergerak berdasarkan akal pikiran kita yang instrumental.

Saya menduga, ini terjadi karena ada sesuatu yang luar biasa besar menimpa kita, sesuatu yang tak dapat kita hindari, dan kita juga hidup dan turut menghisap dan terhisap dari situ. Kekuatan ini telah menyetir kita sejak dahulu kala, yang ditanamkan di sekolah-sekolah kita, dan juga dalam iklan-iklan di televisi, dan media massa. Kekuatan ini membentuk cara berfikir kita sejak dahulu, yaitu cara berfikir hitung-menghitung, cara berfikir kalkulasi.  

Kekuatan itu adalah modal, gaya gravitasinya demikian kuat, membuat kita manut-manut, dan akhirnya menyerahkan diri kita, serta segala kemampuan teknis kita untuk dikendalikan oleh modal. Modal itu buta, dan menggilas kita tanpa perlawanan sedikit pun. Modal menguasai kita hingga lubang-lubang terpencil kita. Barangkali, kalau kita mencoba untuk mengelak dari modal, kita akan segera terpental, dan previlese yang kita nikmati sejauh ini akan menghilang tiba-tiba.

Modal-lah yang mengontrol kita dan menentukan cara berfikir kita tentang bagaimana menyikapi alam ini. Modal pula lah yang menuntut kita untuk tidak pusing dengan modal, karena dengan modal kita dapat hidup layak dan melimpah.       

Meski begitu, kita dapat mengantisipasi modal ini, karena manusia secara kodrati punya kebebasan untuk bertindak. Manusia bisa saja dituntut oleh modal, tapi kenyataannya dia bisa melakukan hal-hal yang menurutnya baik, dengan mengakomodir modal di satu sisi, tapi tidak menafikan nilai-nilai yang telah ia pegang. Manusia adalah mahluk yang bebas untuk bergerak sesuai tuntutan nilai-nilai yang dia yakini. Manusia adalah mahluk berbudaya, yang mendasari hakikatnya pada kesadaran, pada cinta kasih, moralitas, etika, dan kebersamaan. Ada yang mengatakan bahwa keunggulan seseorang dinilai dari kebaikan nilai-nilainya, keberpihakannya pada yang lemah, setelah itu adalah kesesuaian antara perkataan dan perbuatan.

Dapatkah kita membebaskan dari kuasa modal ini? Tentu akan sangat sulit untuk melepaskan jerat modal, sebab dalam hidup kita selalu membutuhkan modal. Tapi, kita dapat mengendalikan gaya hidup kita, dengan gaya hidup sederhana dan tidak menggantungkan diri kita pada materi. Hidup kita menjadi berharga bukan karena kita memiliki modal yang banyak, tapi karena nilai-nilai kita yang melimpah, nilai-nilai yang menuntun kita untuk saling menghormati, menghargai sesama manusia dan sesama mahluk di alam ini. Dengan hidup sederhana, kita pun dapat bersahabat dengan alam. Sebab alam akan memenuhi kebutuhan kita yang sederhana itu, tapi tidak dapat memenuhi keinginan atau keserakahan manusia, begitu pendakuan murni dari Mahatma Gandi. Kita pun dapat paham tentang nilai-nilai ini dengan membuka diri kita pada ajaran-ajaran agama, budaya, sejarah, serta dengan rajin membaca sastra serta filsafat, agar kita dapat menjadi manusia seutuhnya, menjadi manusia yang prihatin terhadap sesamanya dan terhadap alam.

Saya tidak tahu tulisan ini harus saya selesaikan dengan cara apa, tapi saya sadar bahwa bisa saja saya keliru dalam menuangkan pikiran, bisa saja pikiran sayalah yang jahat. Tapi, setidaknya saya sudah berani berfikir, seperti kata Immanuel Kant, Sapere  aude, beranilah berfikir mandiri.


Warkop Daeng Boss, Makassar
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    6 Mei 2015





0 komentar:

Membedah Alam, Membedah Kehidupan