semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Refleksi atas Tambak Supra Intensif Dewi Windu


Dunia perikanan Indonesia, sempat heboh pada 20 Oktober2013 lalu. Di Sulawesi Selatan, tepatnya di lokasi hatchery  CV. Dewi Windu dan tambak Bapak Hasanuddin Atjo di daerah Kuppa, Kab. Barru, berlangsung launching tambak udang vaname sistem Supra Intensif. Peserta yang hadir sekitar lebih dari 100 orang, yang terdiri atas para stakeholder perikanan sulsel, tamu-tamu dari Sulawesi Tengah dan dari Jakarta, diantaranya Prof. Dr. Ir. Rochmin Dahuri, Ketua MAI dan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia, Dr. Sudirman Saad, Mhum (Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil), Dr. Ir. H. Agung Sudaryono, M.Sc (sekjen MAI), Drs. H. Longki Djonggala, MSi (Gubernur Sulawesi Tengah), Bapak Sugeng (Kepala Balai Budidaya Air Payau Takalar), Dr. A. Parenrengi (Kepala Balai Riset Budidaya Air Payau Maros), Dr. Sulkap (Kabid Budidaya Sulsel), Burhanuddin (Balai Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Maros), Dr. Ir. A. Tamsil (Koordinator Shrimp Club Indonesia/SCI cabang Makassar), dan para peneliti dan staff DKP Kab. Barru dan Pinrang.

                                                                                                                                      
Sistem yang dirancang oleh Hasanuddin Atjo ini mendaku menerapkan upaya integratif antar subsistem ; 1) penggunaan benih berkualitas; 2) pengendalian kesehatan dan lingkungan; 3) standarisasi sarana dan prasarana; 4) aplikasi teknologi yang akurat dan tepat; dan 5) Manajemen usaha yang berkelanjutan.

Waktu itu, dalam suasana penuh suka cita, para pembesar naik satu persatu untuk memberi sambutan dan ucapan selamat. Para peserta pun ramai-ramai bertepuk tangan pada setiap kalimat-kalimat yang menggugah. Setidaknya, mereka merayakan kesuksesan Hasanuddin Atjo dalam memproduksi udang dengan hasil ‘wah’ dalam 4 siklus sebelumnya, dan saat itu akan disaksikan panen pada siklus ke lima (Tambak supraintensif sudah diujicoba sejak 2011 di area hatchery Dewi Windu dan terus meningkat produksinya hingga Oktober 2013. Pada saat itu juga telah dipersiapkan lahan baru seluas 1200 m2, lahan ini telah digunakan pada siklus berikutnya. Pelaksanaan tambak supraintensif masih berlangsung hingga kini). Hasanuddin Atjo mengaku telah mengeluarkan dana investasi dan modal kerja secara independen sekitar Rp. 817 juta (hingga Oktober 2013), dan memperoleh nilai produksi hingga siklus keempat sebesar Rp. 710 juta. Yang berarti pada November 2014, diperkirakan telah memproduksi udang sebanyak 7 siklus dengan luas lahan dua tambak 2200 m2, tentu nilai produksi tersebut telah jauh melewati ongkos produksi.      

Kepadatan pada siklus kelima mencapai 1000 ekor/m2, yang kepadatan siklus sebelumnya juga tinggi, yaitu 700 ekor/m2. Dengan model panen parsial, siklus kelima memperoleh hasil panen 18.000 kg/0,1 ha, dengan Food Conversion Ratio (FCR) 1,18 yang sebelumnya 1,57, kelulusan hidup 94 persen dan kapasitas produksi dari 4.069 kg/0,1 ha menjadi 15.300 kg/0,1 ha. Panen sebelumnya, tambak supra intensif mendaku memproduksi 15,3 ton, atau produksi terbesar di dunia saat itu, dimana pernah dicapai Meksiko 11,1 ton untuk tambak 1000 m2. Atjo sendiri telah memperidiksi bahwa daya dukung lingkungan tambak supra intensif dengan penerapan pond engineering adalah 9 ton per 1000 m2. Tapi mungkinkah itu sekadar pendakuan saja?    

Namun, dalam penerapan metode budidaya sistem supra intensif, setelah jalan-jalan ke Barru dan Pinrang, menuai beberapa pertanyaan ?

1.     Apakah bahan – bahan organik yang menjadi ekses budidaya, seperti sisa pakan, feces, dan biomass dapat betul-betul terurai dengan bantuan oksigen optimal di tambak, seperti yang dikatakan oleh Hasanuddin Atjo dahulu? Bagaimana dengan klaim beliau terkait dengan kesehatan lingkungan?

= Hasanuddin menganggap, oksigen dibantu dengan probiotik dapat merombak bahan organik, seperti merombak NH3 menjadi NH4 menjadi NO2 lalu menjadi NO3 yang dianggap tidak berbahaya bagi lingkungan. Selain itu, H2S pada lapisan dasar, dengan bantuan oksigen, dapat dirombak menjadi SO4, apakah betul demikian?

Hal tersebut memang betul, tapi perombakan membutuhkan waktu, membutuhkan proses, tidak ujub-ujub. Apalagi jika bahan organik tersebut langsung dibuang lewat central drain, saluran pembuangan dan tidak ada upaya treatment, semacam kolam perombakan bahan organik. Mungkin, bahan organik itu akan diurai di laut, tapi penguraiannya pun butuh proses dan sesuai daya dukung lingkungan. Jika bahan yang hendak dirombak lebih banyak, laut pun tak sanggup dan membutuhkan waktu yang lama untuk mengurainya. Penguraian pun membutuhkan bakteri yang sangat banyak, sementara air laut dibutuhkan dan dengan segera dimanfaatkan oleh petambak-petambak lainnya.   

Kalau pun menggunakan kolam perombakan, seberapa efisien kolam tersebut? Sebab pergantian air dilakukan secara massif sekitar 10 – 30% perhari. Apakah kolam mampu mereduksi bahan organik hanya dalam sehari? Belum lagi pengeluaran air dilakukan tiap hari, sehingga akan sangat rumit proses perombakan bahan organik ini jika hanya mengandalkan satu tambak, apalagi tambak pemeliharaan sudah 2200 m2. Jika pun tambak IPAL (Jika sudah ada) diberi kaporit untuk membasmi bahan organik (kotoran), apakah residu kaporit tidak berpengaruh terhadap kualitas air di perairan laut? sebab kaporit dapat menjernihkan air dan mematikan organisme dalam perairan  

Terkait dengan klaim Atjo tentang kesehatan lingkungan. Apa dasarnya? Tambak tersebut sangat lambat menyediakan tandon pengelolaan limbah (IPAL). Tak ada bakau yang beliau tanam, tak ada usaha perbaikan lingkungan sekitar. Selain itu, mangrove di sekitar lokasi tambak beliau sangat kurang, begitu halnya dengan keberadaan karang di laut sekitar lokasi. Yang tumbuh hanya sejenis rumput laut liar, yang pertumbuhannya begitu massif dan menjadi indikator melimpahnya bahan organik di perairan lepas pantai dekat tambak supraintensif.

 Perlu pula penelitian, bagaimana pengaruh limbah tersebut terhadap produktivitas mangrove dan karang dan keanekaragaman hayati di sekitar mangrove. Serta bagaimana dengan daya mangrove dalam mendekomposisi/netralisir bahan organik (limbah) dengan kapasitas mangrove yang sedikit itu? Bagaimana kandungan bakteri dalam air laut? Melimpahnya bakteri menjadi sumber utama penyakit pada udang, dan bakteri vibrio yang berlebihan dapat memicu munculnya whitespot (virus) pada udang-udang yang dipelihara di tambak-tambak tradisional, udang-udang yang dipelihara di hatchery di mana air laut dan limbah tambak supraintensif masih terpengaruh.     

Langkah yang harus ditempuh dengan melakukan investigasi terhadap manajemen limbah tambak Hasanuddin Atjo. Berapa kilo pakan dia tebar perhari? Berapa kilo probiotik? Berapa persen dia ganti air? Bagaimana kondisi air sebelum di buang dan kondisi air di sekitar tambak?

2.       Kenapa Hasanuddin Atjo tidak dengan gamblang menjelaskan proses penguraian bahan organik di luar tambak, yang jumlahnya jumlahnya sekitar 60 - 70 persen dari jumlah pakan yang diberikan dalam satu siklus, dimana produksi udang berjumlah sekitar 15 – 17 ton, yang berarti 8 – 10 ton persiklus sebagai limbah?

Setiap hari tambak tersebut mengganti air, dimana limbah dibuang melalui central drain ataupun melalui pintu air. Menurut sumber terpercaya, limbah itu dibuang subuh hari, agar tak ada yang lihat, dengan warna yang tak mengenakkan (hitam). Waktu saya berkunjung ke sana, 20 Oktober 2013, ketika launching tambak supra intensif, warna air yang dibuang sudah hijau kecoklatan dan berbusa. Parahnya, waktu saya berkunjung pada Jumat (21 Februari 2014), saya sembunyi-sembunyi memotret kondisi perairan di laut di dekat tambak supra intensif. astaga, banyak sekali lumut/alga-rumput laut mengapung.


                             Keterangan : limbah buangan di saluran buangan. (20 Oktober 2013)


                           Keterangan : limbah melalui pintu air menuju saluran air. (20 Oktober 2013)

Bagaimana penjelasan ilmiah penguraian bahan organik yang banyak itu? Efek negatif bahan organik tersebut berapa lama? Hal-hal yang ditimbulkan bahan organik berupa kesuburan perairan, dan munculnya organisme-organisme penyebab penyakit. ini butuh penelitian lebih lanjut. Sebab kegagalan budidaya udang windu dahulu juga disebabkan oleh limpahan limbah bahan organik yang mencemari perairan yang berasal dari tambak intensif.  pengaruh limbah tambak intensif windu masih dirasakan hingga saat ini, berupa kesulitan tumbuh udang. Baik berdampak pada kualitas induk udang di alam (masih banyak induk udang di alam sulawesi Selatan), maupun kualitas benur yang dihasilkan di hatchery, sebab kualitas air untuk pemeliharaan benur sudah kurang baik. 

Usaha tambak ini sudah berjalan lebih dari 6 siklus. Selain itu sudah ada lebih dari satu tambak. dengan hasil konsisten 15 ton persiklus, pada siklus kelima hasil panen mencapai 18 ton dengan petak 0,1 hektar (Oktober 2013). Perlu diingat, bahwa tambak jenis ini sudah diperaktekkan pula di Sulawesi Tengah. Waktu itu Gubernur Sulawesi Tengah, Longki, turut hadir waktu launching tambak supra intensif.

Jika hasil 15 ton, dengan FCR 1, berarti jumlah pakan yang digunakan juga 15 ton, dimana sisa pakan diperkirakan 50 – 60 persen, yang berarti 7 – 8 ton persiklus bahan organik, limbah yang dibuang ke perairan umum. Jika dikali dengan dua siklus dalam setahun, berarti 16 ton pertahun. Ini sebanding dengan limbah pakan 10 – 15 tambak petak intensif 1 hektar yang produksi persiklus 2 – 5 ton, yang berarti 1-2 ton limbah persiklus.


Keterangan : foto diambil di dekat tambak supra intensif, sepanjang perairan di dekat tambak terdapat rumput laut liar atau semacamnya. Yang kemungkinan besar tumbuh subur akibat limbah tambak supra intensif. (foto : 20 Februari 2014)


3.       Kenapa Hasanuddin Atjo tidak membuat treatment terhadap limbah buangan? Apalagi dia adalah doktor perikanan dan mengerti dampak buruk dioperasikannya tambak super intensif untuk wilayah perairan perikanan?

Hal ini yang mengejutkan. Bapak Hasanuddin Atjo seakan-akan ingin menang sendiri dengan tidak memperhatikan masa depan tambak-tambak kecil lainnya. Nasib tambak di sulsel saat ini ada di tangan Pak Atjo, jika beliau tetap melanjutkan proyek tanpa perhitungan lingkungan ini, kita tinggal menunggu sejarah hebat perikanan sulsel yang dulu pernah ada. Maaf kalau terlalu membesar-besarkan.

Karena perasaan mau menang sendiri itu, saya beranggapan bahwa Hasanuddin Atjo lebih menekankan naluri bisnisnya, dan menafikan nalurinya sebagai sarjana perikanan, yang harus menilai usaha-usahanya itu dengan pertimbangan lingkungan, hukum, serta sosial masyarakat. Sejauh ini, Hasanuddin Atjo masih bersembunyi di balik dukungan MAI (Masyarakat Akuakultur Indonesia), SCI (Shrimp Club Indonesia), kolega-kolega-nya di pemerintahan dan balai riset. Sementara para peneliti dari MAI, SCI, maupun balai riset tidak berbuat banyak untuk mengangkat isu ini, mungkin karena hubungan dekatnya dengan sosok Atjo.

Bagaimana tidak, doktor lulusan IPB ini tidak kepikiran untuk membuat standar operasional untuk pengolahan limbah. Minimal limbah itu paling kasarnya harus di sterilisasi terlebih dahulu (jalan pintas), dengan kaporit sebelum dibuang ke laut (misalnya). Atau dengan alternatif lain, misalnya dengan kolam IPAL, yang di dalamnya ada organisme penyerap bahan organik, seperti rumput laut (gracillaria), bandeng, kakap dll. Anjuran tandon macam tersebut pernah diutarakan oleh Bapak Rochmin Dahuri waktu penyelenggaraan launching. Tapi Bapak Rochmin sayangnya tak terlalu mempermasalahkan persoalan limbah tersebut, dan hanya memberi sentilan-sentilan kecil, sepenuhnya beliau mendukung untuk memenuhi produksi udang nasional, dan katanya untuk menambah penyerapan tenaga kerja, serta untuk menumbuhkan sektor ekonomi pada bisnis pakan, pupuk, kapur, probiotik, dll.   

Namun, keberadaan tandon dengan hewan-hewan penyerap itu, tampaknya hanya untuk mengurangi dampak limbah sebelum dibuang. Sebaiknya jenis tambak seperti ini tidak perlu ada. Atau ada pada wilayah-wilayah tertentu yang jauh lokasinya dengan tambak lainnya (tak memberi pengaruh pada tambak lain dan hatchery lain).

Pernyataan terakhir dari Hasanuddin Atjo, yaitu tentang pengelolaan dampak lingkungan ini sebaiknya dibantu oleh negara. Karena menurut Atjo, dia telah berusaha sekuat tenaga untuk menghasilkan teknologi internal, dan tugas eksternal dibantu negara. Ini adalah usaha swasta dan seharusnyalah pihak swasta itu pula yang memberikan energi dan investasi-nya bagi perbaikan lingkungan.   

4.       Pengaruh negatif limbah akan dirasakan oleh warga budidaya dalam jangka waktu yang sangat lama, dan akan merugikan begitu banyak pihak. Khususnya para petambak tradisional yang jumlahnya banyak. Bagaimana Hasanuddin Atjo mempertanggungjawabkan tindakannya?

Menjawab pertanyaan ini butuh analisis tertentu. Dan mestinya kampus ataupun lembaga riset melakukan penelitian mendalam tentang dampak jangka panjang dari sebuah limbah (kelimpahan bahan organik), atau sudah ada penelitian seperti itu tapi belum saya peroleh dokumennya.

Pengaruh negatif itu santer terdengar sudah terasa di beberapa hatchery di sekitar Barru dan pinrang. Hatchery –hatchery dekat tambak supra intensif terdengar sudah kurang baik produksinya dalam setahun ini. Sedangkan hatchery bapak hasanuddin Atjo sendiri, hatchery CV. Dewi Windu sudah kurang beroperasi, sebab benur udang diperoleh di perbenihan lain. Apakah ada hubungan antara ketidakberlanjutan CV. Dewi Windu dengan aktivitas pertambakan supra intensif di kawasan hatchery? Pada November 2014, sebuah hatchery di Kec. Suppa, Kab. Pinrang, sudah beberapa kali terserang bakteri vibrio, kasus terakhir bak pemeliharaan nauplinya terserang vibrio yang membuat dia merelakan 400.000 benur udang windu.

Hal-hal yang perlu dilakukan, yaitu dengan melakukan penelusuran mendalam pada para petambak di sekitar hatchery yang sumber airnya berasal dari air laut. untuk tambak-tambak tertentu dipastikan tidak memperoleh masalah, karena mengambil air dari dalam tanah (sumur bor). Penelusuran mendalam juga pada para pelaku hatchery untuk membuktikan kerugian akibat kualitas air yang buruk, mengingat daya sensitifitas benur untuk hidup di air dan terdapatnya bakteri-bakteri negatif yang ditimbulkan oleh banyaknya limbah.      

5.       Kenapa sampai sekarang, warga perikanan kurang yang menuntut?
Ini pertanyaan yang menggelitik. 1) Pandangan sebagian besar warga perikanan hanya berkonsentrasi pada kemampuan produksi dan nilai produksi yang dihasilkan. Hampir semua media yang meliput tambak supraintensif menilai positif tambak supraintensif karena dapat menghasilkan devisa negara yang besar dan mempercepat target produksi pemerintah, tanpa memperhatikan dampak lingkungan. 2) Bisa saja mereka sekadar menggerutu dan masih bingung dengan penyebab utama kerusakan air di lingkungannya. Kerusakan itu sulit dideteksi dengan mata, tapi dari hasil produksi atau munculnya penyakit-penyakit. 3) untuk mereka yang mengerti, bisa saja takut menghadapi superioritas Hasanuddin Atjo, yang punya backing-an yang kuat.

6.       Kenapa pihak pemerintah membiarkan tindakan sewenang-wenang ini?
Saya mendengar, beberapa pekan lalu telah diadakan pertemuan antar pengusaha hatchery, dimana Hasanuddin Atjo dan SUlkap turut hadir. Pada pertemuan itu beberapa pihak telah mengajukan protes terhadap tambak supra intensif untuk segera merefleksi ulang pelaksanaannya hingga saat ini. Saya juga telah melihat di media sosial rapat antara DKP Provinsi dan Peneliti Perikanan tentang kemungkinan tata wilayah untuk implementasi tambak supra intensif di Sulawesi Selatan.  

Namun, sejauh ini belum ada nampak diskusi atau semacam pertemuan stakeholder yang membahas secara detail, setidaknya pengaruh dan perkembangan tambak supra intensif di Sulawesi Selatan. Misalnya dengan melibatkan akademisi, peneliti, mahasiswa, pengusaha lain (termasuk hatchery), serta para petambak tradisional.

Sebaiknya pemerintah juga melakukan kajian analisis tata ruang wilayah, untuk posisi wilayah yang cocok untuk budidaya udang sistem supra intensif. Penerapan model budidaya massif ini sebaiknya dilakukan di tempat yang jauh dari aktivitas usaha perbenihan (hatchery) dan lokasi mangrove dan karang di sekitar tambak masih banyak.

Selain itu, pemerintah harus menekankan aspek sosial pengusahaan tambak tersebut, atau biasa disebut CSR (Corporate Social Responsible). Dimana pengusaha harus menanam bakau dan memberi anggaran bagi usaha kecil penduduk di sekitar tambak. dapat pula diterapkan skema lain, jika kemungkinan tambak jenis ini tidak jadi dihentikan.  

7.       Kenapa Balai riset tidak melakukan riset jangka panjang terhadap dampak buruk limbah tambak supra intensif?

Balai Riset Budidaya Air Paya, Maros, saat ini telah melakukan penelitian dengan model tambak udang sistem supra intensif yang dipimpin oleh Prof. Dr. Rachmansyah di Desa Punaga, Kab. Takalar. Tambahan rekayasa tambak yaitu dengan penerapan IPAL untuk pengolahan limbah. Namun, ini tidak menjadi solusi bagi lingkungan, karena semakin banyak tambak jenis ini akan semakin banyak limbah yang dihasilkan, apalagi kita belum mengetahui kapasitas daya dukung lingkungan (IPAL) dalam mereduksi limbah organik. Saat ini sudah ada beberapa pengusaha yang mencontoh penerapan tambak supraintensif, seperti yang dilakukan oleh PT. Esa Putli (Benur Kita) dan tambak H. Maming di Desa Lawellu, walau dengan kapasitas produksi yang lebih rendah. Semakin banyak pengusaha yang meniru, maka semakin rusaklah kualitas perairan kita.

Sangat diharapkan keterlibatan lembaga riset untuk meneliti pengaruh pencemaran tambak supra intensif terhadap ekosistem serta terhadap tambak tradisional dan hatchery di sekitarnya. Agar pemanfaatan sumberdaya alam ini dapat dimanfaatkan secara bersama untuk meningkatkan perekonomian bersama, tidak hanya dinikmati segelintir orang dan tuahnya dirasakan oleh para warga kecil dengan usaha yang sudah kecil.

Demikianlah pertanyaan-pertanyaan ini saya ajukan dengan segala keterbatasan ilmu pengetahuan saya di bidang perikanan. Semoga tulisan ini bermanfaat untuk perbaikan budidaya perairan di Sulawesi Selatan. Tulisan ini sebagai bentuk gerutu terhadap tindakan yang lamban dan tumpulnya hati seorang pengusaha terhadap dampak usahanya. 

Jumat, 21 Februari 2014
Direvisi 20 November 2014
Idham Malik




0 komentar:

Refleksi atas Tambak Supra Intensif Dewi Windu