semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Sosialisasi BMP Budidaya Udang Windu di Kec. Suppa, Kab. Pinrang (Bagian II)

Ir. Taufik Sabir (Pengusaha Hatchery Desa Tasiwali’e, Kec. Suppa)

Tufik merupakan salah seorang pengusaha perbenihan yang berdedikasi di Kec. Suppa. Beliau tidak sekedar menjual benurnya, tapi juga melakukan pendampingan terhadap petani dan kelompok tani, mengajak petani berdiskusi di kolong rumahnya untuk membincangkan permasalahan-permasalahan dalam budidaya udang windu. Dengan gudang pengalamannya sebagai teknisi akuakultur, Taufik merasa yakin dapat memecahkan setiap permasalahan yang dihadapi petambak. Taufik juga aktif berkoordinasi dengan pemerintah, pengusaha dan kalangan akademik, lalu mengajak mereka untuk turut berkontribusi dalam penelitian, pelatihan dan pemberian bantuan kepada pembudidaya-pembudiaya di Kec. Suppa, Kab. Pinrang.

Taufik membawakan materi budidaya udang windu dengan menggunakan pakan alami. Sebelumnya Taufik bersama Prof. Hatta Fattah telah melakukan penelitian pemanfaatan Phronima suppa sebagai pakan alami untuk meningkatkan pertumbuhan dan daya tahan tubuh udang.



Beliau mengantarnya dengan mengatakan bahwa produktivitas budidaya udang windu Kab. Pinrang ditentukan oleh kemampuannya untuk memproduksi benih. Luasan tambak sekitar 15.000 Ha, namun produksi benur di Pinrang tidak mencukupi kebutuhan benur pada setiap tambak yang memerlukan rata-rata 10.000 – 20.000 benur persiklus. Hal ini menyebabkan banyak lahan tidak produktif karena tidak memperoleh benur. Selain itu, kualitas benur juga terkadang memprihatinkan, karena masih ada hatchery yang menjual benurnya pada umur PL 7 – 8, yang jika ditinjau daya tahan tubuhnya masih rentan. Jika PL sudah di atas 10 maka secara morfologi alat-alat tubuh sudah lengkap, dan benur sudah mampu beradaptasi di habitat baru.

Setelah membahas tentang perbenihan, Taufik melangkah untuk menjelaskan tentang Phronima suppa sebagai pakan alami udang. Pemeliharaan udang dengan Phronima suppa tidak berbeda jauh dengan pemeliharaan udang windu pada umumnya, hanya ditambah satu fase setelah penebaran pupuk, yaitu penebaran benih Phronima suppa sebanyak 4 – 5 liter, baru setelah itu dilakukan penebaran benur.

Sebelum penebaran Phronima suppa di tambak pemeliharaan, terlebih dahulu dilakukan kultur Phronima suppa di tambak terpisah. Tahapan-tahapannya, yaitu : (1) Persiapan lahan, (2) Pengapuran, (3) Pupuk dasar > urea, tsp, za, dedak fermentasi, (4) Pengisian air setengah, (5) Saphonin, (6) Pengisian air full, (7) Pupuk susulan > urea, za, tsp, ursal, fores, dedak fermentasi, (8) Penebaran benih phronima suppa 4 – 5 liter, (9) Pupuk susulan, (10) Panen phronima suppa.

Phronima suppa tersebut dapat digunakan secara bersama atau berkelompok. Menurut pengalaman Taufik, dengan pemberian Phronima suppa, petambak dapat panen dengan umur pemeliharaan hanya 1,5 bulan. Kandungan gizi Phronima suppa belum diteliti lebih jauh, tapi menurut Prof. Hattah, pakan ini dapat pula menggantikan posisi artemia sebagai pakan utama dalam pemeliharaan benur di hatchery.

Tampak hasilnya sekitar 107  - 291 kilogram pada tambak 1 ha, terdapat pula hasil 141 – 163 pada lahan 0,5 Ha. Mulanya pakan ini hanya dimanfaatkan oleh satu dua petambak saja, yang kebetulan di tambaknya tiba-tiba berkembang crustacea baru yang belum dikenal, tapi dapat menyebabkan udang cepat tumbuh dan sehat. Kemudian informasi tentang crustacea yang mirip artemia itu bocor dan diketahui oleh petambak-petambak lainnya. Kemudian, Taufik bersama Abdul Salam Atjo yang merupakan penyuluh perikanan di desa tersebut membantu menyebarkan informasi tersebut ke pemerintah setempat serta ke publik pada umumnya melalui reportasi di majalah dan koran.

Selain itu, hasil analisa usaha penggunaan Phronima suppa juga tetap menghasilkan keuntungan sebesar Rp.10.237.850/siklus untuk satu hektar tambak. Walau terdapat biaya untuk kultur Phronima sebesar Rp.2.710.300. Dimana kultur Phronima juga membutuhkan bahan-bahan yang sama dengan pemeliharaan udang windu, tapi dengan kadar yang sedikit berbeda, seperti penggunaan saponin 500 kg, dolomit 50 kg, dedak halus 300 kg, pupuk urea 150 kg, pupuk SP36 : 150 kg, pupuk Za 150 kg, pupuk cair ursal 5 botol, pupuk cair fores 5 botol, ragi sebanyak 68 biji.

Diharapkan dengan penjelasan kembali tentang Phronima suppa ini, petambak yang belum menerapkan metode ini dapat belajar dengan cepat dan turut menerapkan pemanfaatan pakan alami tersebut, agar produksi tambak meningkat dan terjadi peningkatan ekonomi masyarakat petambak.


Prof. Hattah Fattah, MSi (Akademisi Universitas Muslim Indonesia)

Prof. Hatta Fattah sejak 2006 aktif melakukan penelitian dan koordinasi untuk pemberdayaan masyarakat petambak di Kab. Pinrang, khususnya pada kawasan minapolitan Perikanan Lowita (Lotangsalo, Wiringtasi, dan Tasiwali’e). Prof Hattah membantu Pemda Kab. Pinrang untuk merumuskan kebijakan yang terkait perbaikan kawasan perikanan di Pinrang. Bentuk keterlibatannya yaitu dengan menjadi tim perumus Badan Koordinasi Pengelolaan Kawasan Minapolitan Perikanan, koordinator KIMBIS (Klinik Iptek Mina Bisnis) yang telah berkontribusi dalam membantu para petambak untuk mengembangkan minat bisnis di Suppa. Selain itu, Prof. Hatta mengembangkan penelitian terkait morfologi Phronima suppa dan peran Phronima suppa terhadap pertumbuhan dan daya tahan tubuh udang windu.



Pada sosialisasi BMP Budidaya Udang Windu itu Prof. Hatta membawakan presentasi tentang “Penerapan Kluster Udang Windu Berskala Industri di Kab. Pinrang”. Menurutnya, pembudidaya dalam satu kawasan harus diorganisir dengan baik, baik dari segi bantuan sarana prasarana, bantuan bibit, pakan, dan perlengkapan, maupun sektor pendidikan, kependudukan, dan sosial. Kawasan perikanan budidaya di Pinrang tersebut merupakan sentral produksi udang terbesar, memberi kontribusik ke Kab. Pinrang, dimana Pinrang merupakan salah satu daerah produksi udang terbesar di Indonesia.

Namun, potensi produksi dan sumberdaya di Pinrang yang besar masih belum didukung oleh kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), dimana Angka Putus Sekolah pada jenjang Sekolah Dasar (SD) pada wilayah pesisir sebesar 22,89% dan mayoritas usia sekolah SD sebesar 51.292 jiwa. Rendahnya tingkat pendidikan penduduk ini berpengaruh terhadap pengambilan keputusan dan jangkauan pemecahan masalah yang mereka hadapi, serta kemungkinan untuk penerimaan gagasan dan ide baru.
Selain itu, menurut Prof. Hatta, persoalan kawasan budidaya antara lain, (1) usaha budidaya udang windu masih dikelola dalam skala kecil atau subsisten tradisional dan parsial. (2) Pola pengembangan berbasis sentra belum berhasil meningkatkan kinerja dan produktivitas kawasan. Ini masih menjadi pertanyaan sulit bagi Prof. Hatta, kira-kira apa yang menyebabkan produktivitas kawasan belum bisa dipacu? Sehingga menurutnya pendekatan yang harus dilakukan pada kawasan budidaya yaitu pendekatan klusterisasi an pendekatan partisipatif. Salah satu hal yang bisa dikembangkan di Suppa yaitu Phronima suppa, terdapat pula cacing laut untuk pakan induk, pakan buatan, kemudian induk lokal di Bianga Karaeng. Kita pun dapat melakukan pengembangan Desa Binaan yang dapat dilakukan oleh universitas, lalu integarsi program-program pemerintah, sepert program KIMBIS dan PNPM.

Prof. Hatta telah merancang kluster pengembangan budidaya udang windu di Suppa, dimana pembenihan hatchery difokuskan di Desa Wiringtasi, usaha pentokolan udang windu ditempatkan di Desa Tasiwali’e, kemudian pembesaran di Wiringtasi dan Tasiwali’e, kemudian akan dilakukan pengembangan pasar baik di dalam Kab. Pinrang, maupun di luar Pinrang.

Target keluaran pada tabel di atas dilakukan secara bertahap, dan dikuatkan dengan pembentukan badan koordinasi dengan berbagai stakeholder yang terkait untuk pengembangan kawasan Minapolitan LOWITA (Lotangsalo, Wiringtasi, Tasiwali’e). Target-target di atas akan dibincangkan secara komprehensif untuk pembagian peran sesuai dengan kemampuan dan kepentingan masing-masing. Pemda Pinrang atas inisiasi Prof. Hattah Fattah telah melakukan pertemuan dengan para stakeholder untuk membincangkan posisi dan peran masing-masing.


Wahju Subachri (Aquaculture Staff WWF-INDONESIA)

Wahju merupakan staff akuakultur yang bertugas di wilayah Aceh dan Sumatera Utara. Wahju telah melakukan beberapa kali pelatihan kepada penyuluh dan petambak di daerah Aceh, serta pendampingan pada kelompok ikan nila di Danau Toba. Beliau datang ke Sulawesi Selatan, khususnya Kab. Pinrang untuk mensosialisasikan BMP Budidaya Udang Windu WWF-INDONESIA.
Pemaparan Wahju berangkat dari aspek-aspek penting dalam budidaya udang, yaitu (1) lingkaran teknis operasional dalam budidaya udang windu : persiapan lahan dan air, pemilihan benur, pemilaharaan kualitas air, pengendalian penyakit dan panen. (2) Pembukaan lahan tambak baru harus berkonsultasi dengan instansi terkait (DKP, Badan Pembangunan dan Perencanaan Daerah, Dinas Lingkungan Hidup). Contoh kasus di Kalimantan Timur, sebagian wilayah tambak berada dalam kawasan hutan produksi atau Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK). (3) Memiliki kepemilikan tanah yang jelas (tertulis) serta ijin usaha yang sesuai aturan. (4) Padat tebar rendah, yaitu 3 – 4 ekor/m2 dengan luasan tambak maksimal 1 ha. Bibit berasal dari hatchery atau pendederan yang dikelola dengan baik. (4) Berdasarkan RAMSAR bila lahan di buka sebelum Mei 1999, diwajibkan mengembalikan kawasan mangrove. Sedangkan pembukaan lahandi atas tahun tersebut tidak dapat disertifikasi.



Menurut Wahju, sebagai produk ekspor unggulan, udang Indonesia harus mengikuti persyaratan-persyaratan yang sudah dibangun di tingkat internasional. Diantaranya bahwa produk udang Indonesia harus peduli terhadap lingkungan. Dahulu sempat ada isu larangan untuk mengkonsumsi udang yang berasal dari Indonesia, karena petambak di Indonesia telah menghancurkan mangrove. Dengan mengembalikan mangrove sebesar 50 persen, hal itu sudah menjadi jaminan bahwa petambak Indonesia masih peduli terhadap lingkungan.

BMP Budidaya Udang Windu juga sangat menekankan pembentukan kelompok dalam satu kawasan, dimana berasal dari satu aliran sungai yang sama. Kemudian dalam kelompok tersebut terdapat pertemuan rutin untuk mendiskusikan kegiatan tambak, masalah dan solusinya. Kelompok tersebut juga berguna perencanaan budidaya dan dalam koordinasi penebaran serentak untuk mengantisipasi penyebaran penyakit yang akut.

Wahju kemudian menjelaskan tahapan-tahapan budidaya udang windu yang baik. Tahapan pertama yaitu persiapan tambak, dimana petambak harus memperhatikan konstruksi tambak, bagian pematang dan pintu air, diperbaiki dan ditinggikan serta dijaga agar tidak bocor. Selain itu, kedalaman caren kurang lebih 1 m dan pelataran 0,7 m. Terlalu dangkal akan menyulitkan udang karena meningkatnya suhu, sehingga perlu penggalian untuk penyesuaian kedalaman.  Lalu sebaiknya terdapat saluran inlet dan outlet yang terpisah, untuk mengantisipasi kontaminasi dan penyebaran pencemaran.

Tahap berikutnya, pengeringan tambak. Memastikan dasar tambak tidak tergenang air, sinar matahari langsung dapat mengurangi/mematikan bakteri/virus yang ada di dasar tambak. Menghindari penggunaan tanah sulfat masam. Kemudian, pengapuran dilakukan sesuai dengan prosedur dan nilai pH tanah, sebaiknya menggunakan kapur dolomit, karena dolomit juga dapat menumbuhkan pakan alami. Kemudian dilanjutkan dengan pemupukan dengan menggunakan pupuk organik dan anorganik. Pemupukan organik pada tanah dengan dosis 500 kg/ha dapat memperbaiki tekstur tanah dan membantu dalam proses penyediaan pakan alami dalam tambak. sedangkan pupuk anorganik dengan dosis 20 kg/ha, SP-36 dengan dosis 10 – 15 kg/ha, NPK dengan dosis 15 kg/ha dapat menumbuhkan pakan alami.

Pengisian air melalui pintu air, terdapat saringan air sebanyak dua buah untuk mencegah masuknya ikan-ikan liar. Pemberian saponin pada saat hari cerah untuk memberantas ikan yang masih terdapat dalam tanah. Tidak menggunakan pestida dalam memberantas hama, pestisida dapat membunuh pakan alami udang pada dasar dan kolom air, membunuh mikroba tanah sehingga kualitas tanah memburuk, udang kesulitan tumbuh dan keracunan.



Setelah itu, Wahju menjelaskan tentang asal usul dan ciri-ciri benur yang baik. Benur diperoleh dari hatchery atau gelondongan yang dikelola dengan baik, kemudian memilih benur yang memenuhi kriteria, dan lakukan pencatatan pembelian benur dan dokumen asal-usul induk. Petambak pun harus mengetahui ciri-ciri benur yang baik, yaitu ukuran benur seragam, aktif berenang-bergerak, sensitif terhadap rangsangan, benur berukuran >PL 11/gelondongan, kemudian memastikan hatchery tersebut menerapkan monitoring benur, sehingga benur yang dihasilkan bebas dari virus.  

Dalam melakukan pemanenan benur, sebaiknya dilakukan pagi hari dengan harapan suhu tidak berubah secara signifikan. Kemudian memastikan bahwa jumlah bibit udang dalam kantong sesuai dengan ukuran dan jumlah oksigen untuk menghindari udang stress dalam perjalanan. Lalu usahakan menurunkan suhu air dalam kantong menjadi 24oC jika jarak tempuh bibit lebih dari 3 jam, agar benur tidak aktif. Ketika mengangkut benur, sebaiknya petambak memastikan bahwa alat transportasi bersih dan bebas dari bahan kimia berbahaya, kemudian setelah tiba langsung dilakukan aklimatisasi terhadap benur tersebut. Aklimatisasi dalam penebaran dilakukan dengan hati-hati karena udang mudah stress pada lingkungan baru, kemudian perlu diperhatikan bahwa air tambak sudah ditumbuhi plankton, yang ditandai dengan warna hijau cerah di tambak. benur ditebar di pagi atau sore hari, ketika suhu udara masih dingin. Dan yang terakhir yang penting juga, yaitu dalam setiap proses diharapkan selalu ada catatan, seperti tempat pembelian benur, jumlah benur, umur PL, kadar salinitas, dll.      

Pada sosialisasi tersebut, peserta yang hadir rata-rata adalah petambak tradisional, yang dalam penggunaan pakannya tidak terlalu banyak, dan dikondisikan dengan jumlah benur yang ditebar. Meski demikian, Wahju ikut menjelaskan tentang pakan dan tata cara penggunaannya, agar petambak bertambah pemahamannya tentang pakan. Menurut BMP Budidaya Udang Windu, benur sebaiknya diberi pakan sejak sehari setelah penebaran pakan, sebagai adaptasi dan kelanjutan pemberian pakan sejak di hatchery. Kemudian pakan yang digunakan adalah pakan yang kandungan gizi lengkap, dan sumber proteinnya berasal dari perikanan yang ramah lingkungan.  

Wahju menganjurkan bahwa bila pakan alami cukup dan udang tidak mengkonsumsi pakan di anco, maka pemberian pakan dapat dihentikan atau diberi perhari hanya 1 kg, dengan tetap memantau kondisi ususnya. Bila usus mulai terlihat putus-putus, segera diberi pakan tambahan dengan memperhitungkan biomas dan dikalikan dengan %FR 3-8 persen. Selain itu, petambak tetap memperhatikan kondisi dan warna air, ketika ari telah berubah menjadi kuning, segeralah untuk mengganti air atau diberi pupuk untuk mengembalikan warna air menjadi warna hijau.

Setelah pakan, Wahju menjelaskan isi BMP terkait pengelolaan air selama pemeliharaan. Dalam penggantian air, sebaiknya dilakukan pada saat pasang tertinggi (purnama). Kemudian pada 2 – 3 minggu pertama setelah penebaran, pergantian air dilakukan dalam jumlah kecil, yaitu 10%. Setelah itu, penggantian sudah lebih banyak, dapat 30 – 80% dan disesuaikan dengan periode air pasang tinggi. Pada kawasan yang rawan penyakit, sebaiknya tidak telalu sering menambah air untuk antisipasi tidak tersebarnya penyakit ke perairan tambak. Sedangkan air yang sudah terserang penyakit, dilarang untuk membuang sembarangan, sebaiknya dilakukan perendaman dan strelisasi air untuk membunuh sumber-sumber penyakit. untuk itu, sebaiknya petambak selalu melakukan pengecekan dan pentatan kondisi air secara berkala, serta melibatkan pihak-pihak tertentu, seperti penyuluh untuk membantu uji kualitas air di lapangan maupun di laboratorium. Jika ditemukan permasalahan segera mengambil tindakan, baik dengan membuang air di permukaan, pemberian probiotik, atau pemupukan, selain itu, memastikan ketinggian air tambak minimal 1 m.  

Hal yang penting dalam pemeliharaan tambak yaitu pengendalian penyakit, dimana tidak memasukkan air ke dalam kolam apabila air di pengairan terserang penyakit. begitu halnya ketika udang yang dipelihara terkena virus, petambak dilarang untuk membuang air tambaknya ke perairan terbuka. Air dibiarkan dalam tambak selama sebulan untuk menentralisir air dari penyakit dan pemanenan dilakukan dengan menggunakan jala.   

Bagian terakhir dalam penjelasan Wahju Subachri yaitu panen dan pascapanen. Dimana panen dilakukan pada pagi hingga selasai, baik dilakukan pada saat kondisi hari yang teduh. Mempersiapkan tenaga (tim panen), peralatan dan bahan seperti air dan es yang cukup. Melakukan pemanenan dengan hati-hati, agar tidak tidak ada udang yang lepas, dapat menggunakan jala untuk menjaring udang dalam tambak dan memasang jaring di pintu air untuk menampung udang yang terbawa air. Setelah panen, dilakukan pencucian dan pemberian es untuk mempertahankan kualitas udang dan langsung dibawa ke pengepul atau pengepul yang mengambil langsung ke petambak dengan membawa kontainer atau mobil truk yang bersih dan terdapat cool box di dalamnya.

Hal berikutnya yang harus petambak perhatikan yaitu pencatatan dan pemeliharaan lingkungan. Pencatatan dilakukan sebagai bukti dan bahan pembelajaran (lesson learning) petambak untuk melakukan perbaikan pada siklus-siklus berikutnya. Sedangkan pemeliharaan lingkungan, dilakukan dengan memelihara ekosistem mangrove yang masih ada di lokasi sekitar tambak serta pinggiran sungai dan pantai. Petambak juga diharapkan untuk memastikan bahwa hutan mangrove di pantai memiliki lebar minimal 150 meter dan di sepanjang sungai minimal 50 meter dari lokasi tambak. kemudian ada upaya petambak untuk menanam mangrove di pematang dan saluran iar tambak.

Pembelajaran
Sosialisasi BMP Budidaya Udang Windu di Desa Wiringtasi, Kec. Suppa tersebut tak dapat terlaksana dengan baik jika WWF-ID tidak memperoleh dukungan dari tokoh-tokoh dan masyarakat lokal, serta keterlibatan aktif penyuluh dan staff DKP Kab. Pinrang. Selain itu, melibatkan masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan ternyata cukup efektif untuk meningkatkan semangat mereka untuk terlibat pada saat pelatihan.   



Penutup
Sosialisasi pun berakhir pada pukul 16.30 Wita, setelah Wahju Subachri memaparkan penjelasan tentang isi dari BMP Budidaya Udang Windu. Semoga sosialisasi ini dapat menambah pengetahuan dan pemahaman petambak dan penyuluh perikanan tentang cara budidaya udang windu yang baik. Setelah sosialisasi ini akan dilanjutkan dengan pelatihan budidaya udang windu dengan melibatkan beberapa petambak terpilih, yang diharapkan para peserta pelatihan tersebut dapat menerapkan BMP Budidaya Udang Windu yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. 

Seafood Saver Officer for Aquaculture
WWF-INDONESIA
Idham Malik




0 komentar:

Sosialisasi BMP Budidaya Udang Windu di Kec. Suppa, Kab. Pinrang (Bagian II)