semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Pertemuan Ringkas dengan Ubud

Ubud – Bali pada suatu siang, Minggu, 22 Juni 2014, desa yang selalu dikerumuni para pencari suaka. Para turis yang berjalan-jalan di trotoar, melihat-lihat cafe, melihat-lihat patung, melihat konstruksi rumah, melihat gestur manusia Bali. Kemudian mereka diterkam misteri, mereka meraba-raba sesuatu yang di negerinya hanya menjadi bualan, hanya ditemukan dalam buku-buku spiritual, yaitu semacam rasa mistik. Ia melihat patung itu, dan patung itu seperti melihat dirinya. Ia mengelus-elus ukiran, terkagum-kagum dengan busana dan corak kain, terkagum-kagum dengan alam hijau, dengan batu berwarna abu-abu. Mungkin, di negerinya, segala hal adalah tiruan, hanya kamuflase, hanya benda-benda mati yang dihidup-hidupkan. Di sini, benda mati dan sesuatu yang hidup itu saling berkelabat.



Pada benda mati itu, patung itu seakan-akan telah ditiupkan ruh, lalu kita dapat merasakan keanehan-keanehan, mungkin saja telah membuat kita tercenung dan diam. Kita pun mencoba merasa-rasa apa yang telah kita peroleh? Kita mencobanya dengan membuka diri kita pada sang patung, membiarkannya masuk dan menguar-nguar batin kita. Kemudian sesuatu itu hadir dan tak mampu kita bahasakan, sesuatu yang sublim, yang meyakinkan diri kita bahwa kita selalu membutuhkan hal-hal baru untuk mengisi jiwa, membutuhkan sesuatu yang mistik, yang mematikan akal kita sejenak. Kita pun akhirnya mengakui, bahwa kita terbatas, kita hanya terpaku untuk memandang dan merasakan keindahannya.  

Saya tak mengerti, hal-hal apa yang membuat Ubud semakin digemari? Barangkali karena ia menyimpan apa yang kita inginkan tapi terkadang kita tak ketahui. Kita selalu mencari-carinya, bepergian kesana – kemari untuk mengisi ruang-ruang kosong dalam batin,  menghambur-hambur uang untuk sekadar merasakan suasana-suasana, yang sejuk ataukah gemerlap. Kita terus dibayang-bayangi sebuah tempat yang jauh, tempat yang dalam imajinasi orang-orang disebut sebagai surga. Suasana itu mungkin jarang kita rasakan ataukah kita bosan dengan suasana kampung dan tempat kita bekerja. Tapi, apakah hanya suasana yang kita cari?    

Ubud dicari karena ia menyimpan semacam rasa, yang di dalamnya termuat visual-visual alam serta suara-suara jernih manusia yang mewujud pada karya seni, suara manusia yang membetot dan memantul ke dalam batin-batin kita. Di sana pesona manusia terasa penuh, dengan balutan budayanya berhasil mengajak kita melampaui diri kita hingga ke batas-batas. Kita tidak sekadar menjadi amoeba yang dikendalikan, ataukah penonton yang di atur oleh televisi, ataukah pengendara motor yang matanya diserbu oleh banner-banner iklan, atakah pikiran-pikiran kita yang di atur oleh dogma-dogma, prilaku-prilaku kita oleh doksa-doksa, oleh habitus-habitus, oleh pasar. Kita menjadi manusia sebagaimana fitrah manusia, untuk bebas mengembangkan diri, bebas untuk menjadi apa yang dikehendaki atau yang diangan-angankan. Tapi saya tak tahu apakah betul manusia Bali, manusia yang bernyanyi liris itu, manusia yang melukis itu, yang memahat itu, yang menari itu betul telah menempuh dan menggores diri mereka hingga menjadi manusia seutuhnya? Ya, kita tak dapat memverfikasinya seperti ilmu alam, kita hanya dapat merasakan dan paham.

Pada waktu yang singkat itu, saya hanya melintasi Ubud untuk menuju Gunung Kintamani, gunung yang jauh, dimana kita harus turun tangga sekitar 1 kilometer untuk mencapainya. Di sana terdapat suasana yang lebih menggetarkan, yaitu ukiran candi pada tebing, pada tubir. Begitu besarnya hasrat manusia untuk mengukir gambaran-gambaran apa yang dalam batinnya. Agar mereka puas, agar mereka dapat hidup lebih panjang dan mati dengan gembira. Serta merasa telah meninggalkan jejak pada bumi agar manusia lain dapat pula melakukan perjalanan dengan melihat karya mereka, sebuah perjalanan batin menuju rasa bahagia. Pada tangan manusia, pada batas-batas kekuatan manusia itu dapat lahir candi-candi, kemegahan-kemegahan yang tampak mustahil. Tangan dan keterbatasan itu didobrak oleh ketidakterbatasan hasrat.



Yah, kembali pada pertemuan yang ringkas dengan Ubud, kembali ke jalan-jalan yang dikerumuni turis yang kulitnya memerah dan berbintik, ke daun-daun kelapa menguning dan bergelantungan di batang bambu. Saya melihat turis-turis itu berjalan ringan, terdapat pasangan-pasangan yang bergandengan, sekilas saya melihat pasangan berciuman singkat. Pada langkah-langkah pendek mereka, yang kadang juga terlihat was-was lantaran dipenuhi rasa penasaran terhadap rasa kopi dalam jejeran cafe itu, saya merasa dan melihat kebebasan. Yah, mereka mencari suaka, mereka mencari kebebasan dan rasa aman, mungkin kebebasan yang ringkas, sekadar keluar sejenak dari penjara rutinitas, penjara batin.

Tamalanrea, 18 Agustus 2014
Idham Malik




0 komentar:

Pertemuan Ringkas dengan Ubud