semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Manusia Sekrup (Terbit di Literasi Koran Tempo, Sabtu, 10 Mei 2014)



Saat-saat ini, rasa-rasanya kita sulit menghindar, keluar dari apa yang kita kenal sebagai sesuatu yang rutin. Liyan itu selalu saja menerobos ke dalam dan mengacak-acak jiwa, membuat kita merasa aneh sendiri pada diri kita. Kita pun mencari-cari apa yang telah kita peroleh, apa yang kita temukan, semakin kita sibuk dan berlari, sesuatu yang kita cari itu justru kian tak berbentuk dan mungkin kosong.    

Pada tempat yang lain, kita dilumuri permukaan rasa nikmat, dengan gelimang materi. Yang secara biologis sangat perlu dan digunakan untuk meneruskan regenerasi sel dan membantu alat pencernaan untuk terus menggesek. Kadang-kadang juga untuk meluap-luapkan perasaan dengan memesan menu yang enak, berkunjung ke tempat yang sengaja dikesan-kesankan sebagai indah.

Itulah sisi-sisi dimana kita terkurung, sesekali lepas namun hanya untuk meregang-regangkan syaraf. Zaman ini, barangkali banyak orang yang mengisi hidup sepenuhnya hanya untuk menjadi bagian dari sekrup sirkuit. Orang menghadapi dunianya pada “close-up”, pada situasi yang khusus, dimana ia bergelut lincah di dalamnya, semisal dunia politis, dunia swasta, dunia pecinta-cinta, yang mungkin hanya mencintai uang. Nilai-nilai kuno, yang dahulu telah dipetakan oleh leluhur, menjadi sesuatu yang tak penting dan bisa dinegosiasi. Etika tidak lagi dilihat dengan menggunakan jarak dan harus dipatuhi, etika dalam artian itu merangsek ke dalam daging, ia dengan liar menggelinjat pada suatu situasi yang serba tegang, pada persimpangan jalur-jalur politis, sosial dan manajerial. Etika pun kadang dapat terganti, dengan nilai-nilai yang bertujuan kongkrit.

C. A Van Peursen dalam Buku Strategi Kebudayaan mendefenisikan pola tingkah laku tersebut sebagai manusia fungsionil. Muncul sebagai keharusan dalam menanggapi perkembangan dunia modal dan pertumbuhan ekonomi. Manusia kemudian beradaptasi dan mengatur dirinya untuk terlibat pada jejaring dunia ‘sekrup’. Manusia tidak lagi berpusing-pusing menafsirkan dunia yang barangkali dianggap menghabis-habiskan waktu, tapi langsung terjun ke dalam daya-daya kekuatan di sekitarnya. 

Ciri fungsionil itu dapat diamati melalui ekspresi kesenian manusia. Lukisan dengan gaya fungsionil itu selalu terus terang, namun tidak begitu luhur. Lukisan menggunakan beragam warna yang campur aduk tentang sepotong bagian alat yang tujuannya lebih pada memperkuat daya ekspresi. Seni fungsionil juga tak segan memilih barang-barang yang telah dibuang, seperti besi berkarat, blek-blek bekas, kayu, cat, lalu disusun menjadi karya yang mewakili bentuk tertentu. Karya-karya tersebut menunjukkan bahwa manusia fungsionil selalu ingin melibatkan diri dalam alam dan sejarah.

Manusia fungsionil pun memandang pekerjaannya bukan lagi sebagai sebuah substansi, tapi lebih pada relasi, yang akan membuatnya eksis. Dia ada dengan menjadi bagian dalam keseluruhan dan tunduk pada keseluruhan. Celakanya, pandangan fungsionil ini tidak sekadar membuat manusia eksis belaka, tapi justru mengajaknya ke dalam absurditas/kekosongan. Sebab fungsi keberadaannya hanyalah menjadi bagian dari sebuah fungsi besar suatu mesin, entah birokrasi atau teknokrasi, yaitu mencari keuntungan. Tiba-tiba kehidupan selalu dinilai dengan materi, sementara jika kehidupan bersandar pada materi, lama kelamaan hidup menjadi membosankan. 

Manusia fungsionil mematuhi kaidah-kaidah susunan yang dibuat-buat oleh manusia itu sendiri. Ini disebut jebakan operasionalisme. Segala sesuatu dioperasionalkan, manusia menurut pandangan ini tak lain adalah hasil test-test psikologi. Tuhan pun dianggap hanyalah hasrat dan pikiran-pikiran manusia yang bersembunyi dan menyembul-nyembul. Begitu halnya dengan pengambilan keputusan, dimana ditentukan berdasarkan denah-alur koordinasi. Maka masa depan manusia kita serahkan dan kita rendahkan dalam sebuah rumus dan denah. Segala sesuatu dikembalikan pada angka-angka, nomor, hitung-hitungan. Kita pun hanya menjadi bagian kecil dari jejaring birokrasi, teknokrasi, dan manipulasi. Kita terlempar dari kenyataan, terlempar dari orisinalitas. 

Jadi wajarlah kiranya jika kita menyaksikan paradoks-paradoks di keseharian, dimana tetangga menjadi orang lain, dengan pagar-pagar tinggi, manusia membentengi privasi-nya. Kita tak saling menyapa walau hanya berdua di lift gedung, kita melihat pelayan hotel sebagai alat yang dapat kita perintah dan mereka dengan terpaksa tersenyum manis. Kita pun mulai merendah-rendahkan orang, melihat orang lain itu hanyalah satu setelan alat yang bekerja, dibayar, direduksi. Kita semuanya tiba-tiba menjadi anonim, tanpa nama. 

Begitu halnya dalam kehidupan percintaan. Operasionalisme membuat rasa cinta itu menjadi hambar, sebab cinta telah diredusir menjadi skema teknik permainan asmara semata. Identitas dua individu yang tiba-tiba membangun relasi operasi itu pun menjadi kehilangan identitas.     

Bagaimanakah identitas itu ditegakkan kembali di dunia serba operasional ini. Jalan yang harus ditempuh sangat rumit. Untuk sementara, tampaknya kita harus kembali menengok petuah-petuah kuno, nilai-nilai yang dahulu eksis. Menghirup kembali rasa spritualitas dengan nalar yang matang. Atau kita pun harus sering-sering membaca essai kebudayaan, sastra serta roman. Seperti yang diungkapkan Asrul Sani dalam essai-nya, “Membaca sebuah buku roman setidaknya mengembalikan kita kepada rasa kemanusiaan itu sendiri”. 





0 komentar:

Manusia Sekrup (Terbit di Literasi Koran Tempo, Sabtu, 10 Mei 2014)